MANADO, SULAWESION.COM – “Kasus pungli bagi saya hanya bisa dicegah apabila para birokrat kampus, para dekan mengambil tindakan penuh secara tegas”.
Adalah penggalan narasi dari sebuah opini karya Christian Mawati, seorang mahasiswa Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi.
Opini Christian berjudul “Soal masalah pungli, Rektor Selaku Pimpinan Tertinggi Harus Cepat Mengambil Sikap Tegas”, terbit di laman artikel Pers Kampus Acta Diurna Fisip Unsrat pada 18 April 2023 lalu.
Secara keseluruhan, tulisan sederhana ini adalah penggalian dari keresahan dan pengharapan. Keresahan atas integritas birokrasi di kampusnya yang problematik dan pengharapan atas perbaikan integritas itu. Namun keresahan dan pengharapan itu dijawab dengan tindakan-tindakan intimidasi dari pimpinan fakultas.
Bagaimana tidak, selepas terbitnya tulisan Christian, tepatnya 19 April 2023, Ia mengaku dihubungi oleh Wakil Dekan III untuk menghadap Dekan FIB Unsrat pada 20 April 2023.
Ancaman pun dilontarkan pada Christian, ia tidak akan bisa mengikuti ujian, padahal dia sudah masuk semester akhir yang biasanya akan Ujian Proposal dan Skripsi.
Setelah melewati berbagai intimidasi, Christian yang pernah menjabat sebagai Ketua BEM FIB Unsrat dipaksa membuat surat pernyataan bersalah atas tulisannya. Seakan-akan menulis adalah sebuah kesalahan.
Padahal jika dibaca secara seksama, tulisan Christian hanya bersifat desakan serta terdapat saran pada pimpinan kampus untuk menyikapi secara tegas terkait masalah pungli.
Insiden ini menurut saya menyisakan dua momen bagi mahasiswa Unsrat secara umum dan secara khusus bagi mahasiswa fakultas ilmu budaya. Momen dimana daya kritis mahasiswa semakin meningkat atau malah kekritisan itu masih takut pada bayang-bayang represifitas pimpinan kampus.
Sebagai mahasiswa harus menggunakan momen ini sebagai power up daya kritis, sebab insiden ini jelas mencederai keberlangsungan demokrasi di kampus, sedangkan benteng terakhir daripada demokrasi kampus itu terletak pada keberanian mahasiswa.
Apalagi dengan keilmuan sastra, kritik mahasiswa bisa berlangsung dalam banyak wajah. Teman saya yang juga alumni dari Sastra Inggris FIB Unsrat pernah mengoceh begini; sastra itu keberanian, kebebasan berpikir dan berkehendak. Sastra membuat seorang pengecut menjadi pemberani.
Ternyata ocehan teman saya itu bukan bualan semata, walaupun ia bukan sastrawan tapi setidaknya pernah belajar pada jalan keberanian itu.
Secara historis, bahkan ketika jurnalisme pada waktu orba direpresi sastra menunjukkan keberaniannya. Tidak sedikit karya-karya sastra yang menampilkan fakta dalam fiksinya sehingga muncul istilah seperti sastra perlawanan.
Oleh karena itu dengan adanya insiden yang dialami Christian keberanian lain harus menyusul. Keberanian dengan “majas” yang baru; ciri khas Sastra.
Soal pungli akan dijadikan sebagai tokoh antagonis lalu akan mati dalam akhir cerita fiksi, represifitas pimpinan kampus akan “dihukum” dengan keelokan bait-bait puisi.
Menurut saya kekritisan ala sastra ini patut digelorakan dan itu bergantung pada keberanian mahasiswa. Jika masih ada rasa takut apalagi apatis pada persoalan kampus, harapan-harapan atas perbaikan nilai moral di kampus hanya berakhir di imajinasi dan berkeliling di alam pikiran.
Menulis adalah meneruskan ingatan, Bukan hanya sekadar merangkai kata, lebih dari itu menulis ialah alat perjuangan lintas masa.