Parkiran container di depan jalan Kawasan Ekonomi Khusus, (Fto/Yaser)
BITUNG, SULAWESION.COM – Samsia (40) warga Sagerat Weru Satu merasa cemas. Kecemasan perempuan 2 anak itu karena aktivitas mengantar putrinya ke sekolah pagi hari dianggap terlalu beresiko.
Resiko itu waktu berkendara. Dia mengaku sering merasa khawatir dijalan. Apalagi berpapasan dengan kendaraan bertonase besar (container). “Memang kalau di jalan selalu dibawa rasa khawatir. Apalagi dijalan sempit dan ramai sangat beresiko tinggi. Saya sering menepi bertemu kendaraan container,” ucapnya.
Ia berharap, upaya pembatasan kendaraan bertonase besar oleh pemerintah kota segara cepat rampung. Sehingga, katanya, kebijakan itu mampu menghimpun keselamatan masyarakat di saat berkendara.
“Sudah saatnya menekan angka kematian di jalan. Butuh berapa banyak korban lagi masyarakat,” tegasnya.
Rencana kebijakan pemberlakuan jam operasional kendaraan angkutan bertonase besar tidak ditampik Kepala Dinas Perhubungan Kota Bitung, Ricy Tinangon.
Menurut Ricy sosialisasi kebijakan pembatasan itu sudah 2 kali dilakukan. Pun begitu, dia juga mengakui, masih ada pro kontra terkait rencana tersebut.
“Pada dasarnya kami melihat soal keselamatan masyarakat di dalam kota. Dari tahun 2019 – 2022 angka kecelakaan meningkat. Kalau pun masih ada pihak-pihak yang keberatan melewati jalan tol karena biaya, yah menunggu saja sampai jam operasional dibuka. Tapi jika memang barangnya mendesak, dipersilahkan lewat jalan tol,” kata Ricy saat ditemui media ini diruang kerjanya, Jumat (08/12/2023).
Ricy juga menjelaskan, yang perlu dipahami kebijakan itu tidak membatasi semua. Pihaknya juga menjamin pergerakan perekonomian di dalam kota, terutama Port of Loading (POL) ekspedisi di Bitung.
“Kami tidak membatasi semua. Karena yang menjadi konsentrasi dalam kebijakan yaitu, kendaraan yang dari luar Bitung, yang tujuannya ke pelabuhan Petik Kemas dan kemudian keluar dari pelabuhan,” jelasnya.
Ia mengingatkan, substansi dari kebijakan bukan melarang kendaraan ke pelabuhan apalagi sampai berkembang diluar yaitu menggangu stabilitas ekonomi.
“Kami tidak melarang. Pemberlakuan jam operasional kendaraan angkutan bertonase besar hanya dibatasi. Itu pun ada alternatif, kalau mau cepat harus lewat jalan tol,” tuturnya.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia/Indonesian Logistics dan Forwarders Association (ALFI/ILFA) Sulawesi Utara, Sam Panai saat dikonfirmasi mengaku masih sulit menerima poin-poin dalam kebijakan tersebut.
Dalam suatu kebijakan yang menyangkut tatanan ekonomi, bebernya, tak bisa tiba saat tiba akal.
“Jika ingin memberikan kebijakan harus solutif. Kami tidak mempersoalkan melewati jalan tol. Tetapi, didukung dengan infrastruktur seperti SPBU dan pergudangan di ujung jalan tol,” beber Sam sembari mengatakan di kota Manado juga adanya kebijakan yang sama.
Kebijakan pembatasan kendaraan bertonase besar, ucap Sam, tidak dijelaskan juga secara rinci teknisnya seperti apa. Kalaupun ini dilakukan, bakal berdampak kepada biaya logistik karena penyesuaian waktu operasional dan pastinya akan menaikkan sedikit inflasi di Sulawesi Utara.
“Kami mendorong agar mengkaji kembali lebih mendalam soal rencana pembatasan kendaraan,” tegasnya.