Opini oleh: Abid Takalamingan
MANADO, SULAWESION.COM – Sebenarnya salah satu titik krusial dari tahapan pemilu adalah sekarang yakni tahapan perhitungan (rekapitulasi) suara. Itulah sebabnya KPU dalam hal ini berinisiatif untuk menghadirkan Sirekap yang dalam konsideran kehadirannya dimaksudkan untuk memenuhi asas transparansi dan akses informasi publik untuk pesta rakyat (pemilu 2024).
Akan tetapi selalu saja ada pikiran-pikiran kotor dan tangan-tangan jahil yang ingin merusak sistem yang dibangun dengan hasrat mengambil untung dan berlaku tidak fair pada tahapan ini dan patut diduga yang melakukannya adalah mereka-mereka yang selalu ingin menghalalkan segala cara yang penting tujuan dan kepentingan untuk berkuasa tercapai.
Pada hari kedua setelah pencoblosan, tepatnya 15 Februari 2024, berbagai kelemahan ketidak relevanan Sirekap dengan hasil di lapangan terus menjadi temuan dan ketika dikoreksi maka temuan serupa muncul di.tempat lain, bahkan dalam temuan tim IT kami polanya ternyata tidak tunggal tapi sudah bermacam-macam. Sirekap telah berubah seperti amuba dalam melakukan tindakan membela diri ketika diserang.
Misalnya saja sehari setelah KPU RI secara lengkap tampil mengklarifikasi berbagai kritikan masyarakat soal Sirekap di depan media nasional, dengan penuh percaya diri, besoknya secara tak sengaja saya menemukan pola yang lain dimana hasil perolehan saya ditempelkan kepada calon yang lain demikian juga sebaliknya, akibatnya diagram biru yang terbentuk pada diagram saya justru angka perolehan suara dari calon lain dan angka perolehan saya ditempelkan pada calon yang lain dan angka itu adalah akumulasi sebuah kecamatan yang selisihnya lebih dari 3000 suara.
Sesuatu yang lebih gila lagi dalam soal Sirekap dalam fitur penyimpanan dokumen C-hasil (C1) bahkan ditemukan gambar jari tengah yang biasa digunakan sebagai simbol “makian atau perbuatan tidak senonoh” sebagai pengganti C1, sungguh memalukan bahkan bagi saya menjengkelkan.
Kenapa? karena untuk urusan seserius ini (memilih pemimpin) karena Sirekap menjadi transparan tumpahan kekurang-ajaran dari mereka yang memiliki rusak moral dan akhlak. Kasus ini entah siapa yang melakukan, saya sudah sampaikan pesan WhatsApp kepada salah satu komisioner KPU Sulawesi Utara agar diambil tindakan tegas (barbuk TPS dan lokasinya jelas).
Karenanya sejak dua hari setelah pencoblosan saya melakukan konferensi pers mengungkapkan rekapitulasi yang bermasalah dan meminta KPU men-takedown Sirekap karena tak lagi relevan dan tak lagi memenuhi asas pemilu tentang akuntabilitas dan asas transparansi bahkan cenderung menjadi alat untuk membangun opini “sesat” kepada publik dan berpotensi terjadinya konflik horizontal dan vertikal karena bisa jadi setelah rekapitulasi nama yang sudah dianggap menang oleh Sirekap ternyata tumbang.
Saran untuk men-takedown sampai sekarang tidak dilaksanakan dan digubris, pada posisi ini saya bisa memahami karena mungkin KPU telah terlanjur menggunakan milyaran dana negara dalam proses pengadaan Sirekap KPU, sehingga posisinya untuk menghentikan menjadi dilematis. Pada posisi ini KPU persis seperti cerita buah simalakama, KPU berada pada dua pilihan yang sama-sama sulit.
Dus, sampai di situ sebagai publik dan terutama stakeholders pemilu mengerti bahwa Sirekap telah kehilangan legitimasi dan karena itu mari kita tunggu tahapan pemilu dalam setiap tahapannya agar tidak dicederai oleh megalomania Sirekap yang posisinya hanya sebagai alat bantu tak lebih.
Dan ternyata gagal membantu memberikan persepsi tentang pemilu yang transparan dan adil, apalagi gara-gara kegagalan Sirekap sebuah polling yang diluncurkan baru beberapa hari telah diikuti oleh puluhan ribu orang untuk menjawab “curang” atau “tidak”.
Mengejutkan jawabannya karena sampai tulisan ini dibuat telah 94 persen menyatakan bahwa pemilu ini curang dan hanya 6 persen yang menyatakan pemilu ini adil. Semua karena Sirekap, para pemuda-pemuda bangsa di KPU kehilangan muka. Miris.