Proyek Reklamasi Manado Utara: Manipulasi Hukum, Pengabaian Hak Masyarakat Pesisir dan Perusakan Lingkungan Hidup

Kawasan pesisir Karangria-Tumumpa, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara yang bakal direklamasi oleh pihak pengembang PT Manado Utara Perkasa (MUP). (Foto: YLBHI-LBH Manado)

MANADO, SULAWESION.COM – Pemasangan papan informasi proyek reklamasi oleh pengembang PT Manado Utara Perkasa (MUP) di kawasan pesisir Karangria-Tumumpa, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara menunjukan awal mula proses penimbunan kawasan laut menjadi area komersialisasi bagi para investor dan menjadi lanjutan dari proyek reklamasi jalan Boulevard Dua.

Berdasarkan informasi yang didapat, proyek ini akan membuat daratan baru seluas 90 hektar dengan dasar penerbitan Kesesuaian Ruang Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan Izin Pelaksanaan Reklamasi oleh pemerintah yang diklaim dipegang oleh pengembang (reklamator) yakni PT MUP.

Bacaan Lainnya

Menurut berbagai pemberitaan, owner perusahaan pengembang Agus Elektrik Abidin memiliki reputasi buruk yakni sebagai pelaku mafia tanah atau makelar di Sulawesi Utara, juga proses pengurusan izin yang sarat masalah, rekayasa dan banyak gratifikasi (Manadopost.jawapos.com 2/5/2024).

Hal ini patut untuk ditindaklanjuti oleh pihak berwenang dengan penegakan hukum atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat, tindak pidana lingkungan dan pelanggaran tata ruang.

Selain dugaan pelanggaran legal-prosedural perizinan, YLBHI-LBH Manado menilai, secara substansial berdasarkan perspektif keadilan sosial, proyek reklamasi di wilayah Manado Utara ini merupakan bentuk perampasan laut dengan konversi kawasan perairan yang merupakan milik bersama (publik) menjadi konversi dalam bentuk komersialisasi ruang pesisir yang akan merugikan nelayan tradisional dan merusak ekosistem laut sehingga dapat berdampak buruk pada keberlanjutan lingkungan hidup, sampai adanya potensi terjadi bencana “banjir rob”.

Sebagaimana temuan ilmiah YLBHI-Forum Asia (2021) dalam risetnya tentang Pemiskinan, Perubahan Iklim dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia menunjukan temuan bahwa adanya reklamasi di pesisir sangat berdampak buruk pada nelayan sebagaimana fakta lapangan yang terjadi pada proyek reklamasi sebelumnya di Kecamatan Titiwungen-Sario.

Mulai dari tidak memadainya dermaga, meningkatkan resiko terkena gelombang tinggi, berkurangnya alat tangkap nelayan bahkan hilangnya mata pencaharian hingga mempengaruhi lingkungan hidup.

Selain dapat mempengaruhi berkurangnya pendapatan nelayan, dampak reklamasi juga dapat mengakibatkan berkurangnya populasi nelayan di pesisir Manado dan dipaksa beralih profesi yang tidak sesuai dengan keahliannya sehingga berujung pada kehilangan mata pencaharian.

Nelayan yang masih bertahan sekarang harus tinggal di pemukiman padat dengan kebersihan yang buruk yang rentan terhadap banjir. Kemudian, kurangnya perlindungan untuk nelayan serta rendahnya kualitas tambatan perahu membuat mereka sangat rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim.

Papan informasi terkait reklamasi di kawasan pesisir Karangria-Tumumpa, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. (Foto: YLBHI-LBH Manado)

Pesatnya pembangunan di wilayah pesisir di Kota Manado secara perlahan merampas ruang hidup para nelayan. Pemukiman nelayan perlahan tergeser dengan kawasan bisnis.

Dugaan pelanggaran administratif dalam proyek reklamasi Manado Utara juga disebabkan karena akses partisipasi publik yang bermakna tidak diwujudkan.

Hal serupa terjadi dalam pembentukan regulasi lokal yang melandasi pembangunan di kawasan pesisir yakni pembentukan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dimana selama pembentukannya, komunitas nelayan Tuminting tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan. Master plan lahan reklamasi juga tidak dapat diakses oleh publik.

Sudah beberapa kali pengembang melakukan pertemuan membahas rancangan reklamasi dengan kelompok yang mengatasnamakan mewakili nelayan. Sedangkan nelayan yang sehari-hari menangkap ikan di Teluk Manado tidak dilibatkan dalam pertemuan.

Area pesisir seharusnya diperuntukan bagi kepentingan nelayan yang memanfaatkan sumber daya laut untuk penghidupan sehari-hari selama berpuluh-puluh tahun. Perumusan kebijakan pembangunan pesisir juga harus melibatkan partisipasi nelayan melalui konsultasi efektif bukan sekadar sosialisasi belaka.

Pembangunan yang nir-partisipatif hanya akan menimbulkan konflik sosial seperti yang terjadi pada proyek reklamasi di Pantai Kinamang, Malalayang

Terjadi konflik berkepanjangan antara nelayan dan pengembang, sementara pemerintah daerah (pemda) belum mengambil langkah tegas untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak nelayan dan belum menindak Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan secara melawan hukum dalam proyek ini (David Wungkana dkk, 2021).

Kami memandang, proyek yang ramah investasi dan abai pada pemenuhan hak asasi manusia ini merupakan kebijakan yang bersumber dari produk hukum oligarkis yakni Undang Undang Cipta Kerja (UU Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang).

Undang undang ini memudahkan pelaku usaha menguasai wilayah pesisir melalui mekanisme “Perizinan Berusaha” yang justru memangkas sejumlah ketentuan perizinan, tidak memprioritaskan perlindungan lingkungan hidup, memperluas kewenangan pemerintah pusat dan menghalangi akses rakyat pada kebijakan pembangunan (YLBHI, 2023).

Kami menegaskan bahwa setiap pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus mempertimbangkan berbasis pada partisipasi yang bermakna, dengan jaminan rekognisi pembangunan yang berorientasi pada manusia dan mengakui manusia subjek utama yang menerima manfaat.

Sehingga harus dilibatkan sebagai peserta utama dalam pembangunan; negara memiliki tanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan masyarakat dan individu, mengakui bahwa hak atas pembangunan adalah hak dasar atau asasi warga negara yang tidak dapat dilanggar. Serta persamaan akses untuk pembangunan, sebagaimana yang dituliskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan (Declaration on the Right to Development).

Berdasarkan argumentasi di atas, YLBHI-LBH Manado mendesak:

1. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menghentikan proyek reklamasi di wilayah Manado Utara dan mencabut Izin Pelaksanaan Reklamasi PT MUP

2. BPN, Polri dan Kejaksaan RI untuk melakukan investigasi dan penyelidikan secara transparan dan akuntabel terhadap dugaan praktik mafia tanah dalam proyek reklamasi Manado Utara

3. Memberikan akses ruang dan kedudukan yang efektif bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam setiap pembangunan

Siaran Pers YLBHI-LBH Manado

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *