Fenomena Politisi ‘Kutu Loncat’ di Pilkada Bitung, Pengamat Politik Tegaskan Soal Etika dan Moralitas

Pengamat politik Jerry Sumampouw saat menanggapi Fenomena Politisi kutu loncat. (Dokumentasi | Yaser Baginda)

BITUNG, SULAWESION.COM – Fenomena politisi ‘kutu loncat’ atau pindah-pindah partai politik di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 makin masif terjadi.

Selain itu bagian dari tarik-menarik kepentingan antar partai politik, fenomena politisi ‘kutu loncat’ juga berhubungan dengan mencari titik aman untuk mendapatkan tiket di Pilkada.

Bacaan Lainnya

Contohnya dalam dinamika politik Kota Bitung. Di tahun 2024 ini, politisi Hengky Honandar yang digadang-gadang bakal maju sebagai calon Walikota Bitung pada November 2024 mendatang telah mengantongi 4 kartu tanda anggota (KTA) partai politik.

Baca juga: Hengky Honandar Manuver di Partai NasDem, 3 KTA Belum Cukup Amankan Tiket Pilkada

4 KTA yang didapatkan Hengky Honandar itu setelah beberapa kali pindah-pindah partai politik yaitu, PDI Perjuangan, Demokrat, Gerindra dan terakhir NasDem.

Fenomena politisi ‘kutu loncat’ ditanggapi oleh pengamat politik nasional, Jerry Sumampouw saat diwawancarai media ini, Jumat (27/7/2024) siang.

Jerry Sumampouw menjelaskan, politisi pindah dari satu partai ke partai yang lain merupakan suatu fenomena yang sejak lama sudah terjadi.

“Sudah banyak yang mengkritik terkait dengan sifatnya etik dan moralitas. Dari sisi hukum, tidak ada masalah. Karena pencalonan politisi itu diusung oleh partai politik. Sejauh partai menerima, hal tersebut sesuatu yang legal,” katanya.

Tetapi, kalau melihat dari sisi etik dan moralitas, beber Jerry, ini menjadi persoalan. Meskipun, katanya, Pilkada itu ada pasangan calon, tapi selalu ada konteks ideologi partai politik.

“Ideologi partai ini penting. Kalau dalam pencalonan nanti menang bisa menjadi sandaran politisi dalam hal melaksanakan program-program,” katanya, sembari mengatakan dengan nada sedikit pesimis, calon-calon hasil dari ‘kutu loncat’ tidak mungkin mampu menjalankan program sebagai pemimpin.

Ia menyatakan, adanya fenomena politisi ‘kutu loncat’ juga tidak terlepas dari standar moral etik partai politik yang terbilang rentan.

“Masalah kita juga ada pada standar moral etik partai politik. Semestinya partai menolak politisi kutu loncat. Dan lebih memilih kadernya untuk dicalonkan karena sudah berjuang berdarah-darah membesarkan partai,” jelasnya.

Jerry menambahkan, adanya fenomena politisi kutu loncat sangat rentan menimbulkan konflik di internal partai politik.

“Fenomena seperti itu potensi menimbulkan gejolak di partai. Karena ada orang-orang yang terbilang sudah lama mengurus partai tiba-tiba dikalahkan oleh orang-orang tertentu dengan tolok ukur yang bersangkutan memiliki nilai materi lebih banyak dari yang lain,” tambah Jerry.

Disamping hal tersebut, mantan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) ini mengingatkan kepada masyarakat agar lebih paham dinamika fenomena politisi kutu loncat. Ia berharap masyarakat punya pertimbangan memilih politisi kutu loncat atau tidak.

“Jadi saat ini kita harus secara bersama-sama mengajak masyarakat untuk mengkritisi kalau bisa memberi sanksi atau seperti hukuman kepada calon yang punya perilaku dan karakteristik kutu loncat,” tegas Jerry.

Ia juga mengaku, banyak hal yang perlu benahi kalau bicara tentang etik dan moralitas. Mulai dari calon, partai politik dan masyarakat.

“Calonya harus perkuat integritas, parti politik juga menjunjung tinggi standar etika dan moralitas serta masyarakat yang perlu didorong agar lebih kritis terhadap para calon kutu loncat,” tukasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *