Bahas RUU TNI, Pemerintah Khianati Janji di Forum HAM Internasional

(Foto: Ilustrasi)

JAKARTA, SULAWESION.COM – 34 organisasi yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional atau HRWG mengecam pembahasan revisi Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).

Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil. Namun, revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari:

* Komite HAM PBB (2023): Menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
* UPR 2022: Merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.
* Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan: Menyoroti praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik.

Koalisi menolak rencana revisi UU TNI dengan alasan berikut:

* Pelanggaran Terhadap Rekomendasi CCPR/UPR: Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC. Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

* Mengabaikan Prinsip Pemisahan Fungsi Militer-Sipil: Keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.

* Bisnis Militer: Ancaman terhadap Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM Kegagalan revisi UU TNI menghapus bisnis militer bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights dan rekomendasi UPR agar Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.

* Ketidakpatuhan pada Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT): Tidak adanya mekanisme pencegahan penyiksaan dalam operasi militer di draf revisi mengabaikan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak CAT.

* Penghambatan Ratifikasi Statuta Roma ICC: Revisi UU TNI yang melindungi pelaku pelanggaran HAM berat bertolak belakang dengan komitmen Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma ICC, seperti dijanjikan dalam UPR 2017.

* Kembalinya Dwi Fungsi TNI ala Orde Baru: Pasal-pasal revisi UU TNI yang melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil (misalnya program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik) mengembalikan praktik dwi fungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru. Padahal, UU No. 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Dwi fungsi terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu.

Atas dasar berbagai alasan tersebut, maka Koalisi memandang DPR dan pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM Internasional.

Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional.

Revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap Reformasi 1998. Kembalinya dwi fungsi TNI hanya akan memuluskan jalan bagi militerisme dan impunitas, seperti yang terjadi di masa Suharto.

Maka dari itu Koalisi menuntut;
1. Hentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.
2. Bentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil.
3. Mendesak Komnas HAM dan Kementerian HAM memberikan desakan kepada DPR agar menjalankan rekomendasi-rekomendasi dan menolak RUU

Koalisi memandang, jika draft ini dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil.

HRWG adalah koalisi 34 masyarakat sipil Indonesia yang berkomitmen mendorong akuntabilitas Indonesia dalam menjalankan prinsip dan komitmen terhadap hukum HAM internasional, di antaranya: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Arus Pelangi, Asosiasi LBH APIK Indonesia, ELSAM, GAYa Nusantara, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), HuMa, IKOHI, ILRC, IMPARSIAL, INFID, Institute for Ecosoc Rights, JATAM, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Banda Aceh, LBH Jakarta, LBH Pers, Migrant Care, Mitra Perempuan, PBHI, RPUK Aceh, SBMI, SETARA Institute, SKPKC Papua, Solidaritas Perempuan, TURC, WALHI, YAPPIKA, Yayasan Kalyanamitra, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Pulih.

Narahubung;
Armayanti Sanusi, Ketua Solidaritas Perempuan
Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG)
Fadhil Alfathan, LBH Jakarta
Halili Hasan, Direktur Setara Institute
Hariyanto Suwarno, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
Julius Ibrani, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI)
Khotimun S, Asosiasi LBH APIK Indonesia
Listyowati, Ketua Pengurus Kalyanamitra
M. Isnur, Ketua Umum YLBHI
Mike Verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia
Riza Abdali, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)
Wahyu Susilo, Direktur Migrant Care

(***/Siaran Pers)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *