BLORA,SULAWESION.COM – Malam itu, langit Blora menyelimuti pendopo rumah dinas Bupati dengan udara yang lembut, seakan menunggu sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Lampu-lampu temaram memantulkan cahaya ke tiang-tiang kayu jati, menciptakan bayangan panjang yang bergerak mengikuti hembusan angin.
Di bawah langit Agustus, sebuah kisah akan lahir kembali kisah yang pernah ditulis tujuh dekade lalu oleh Pramoedya Ananta Toer, kini hidup dalam bentuk yang tak biasa.
Perkumpulan Seni Nusantara Baca menghadirkan Perburuan, pementasan yang menolak dikotakkan.
Ia bukan drama murni, bukan pula tari atau konser musik. “Bisa dikatakan ini adalah ruang perjumpaan berbagai bentuk seni, yang memanggil imajinasi penonton untuk ikut mencipta,” kata budayawan Gundala Wejasena, yang menyaksikan dari barisan depan, Sabtu 9 Agustus 2025 malam.
Landung Simatupang, tokoh teater senior asal Yogyakarta, memimpin adaptasi naskah dari novel Perburuan (1949) karya Pramoedya sebuah karya yang lahir dari masa mudanya, penuh nafas perlawanan dan kegelisahan pasca kemerdekaan.
Dalam 80 menit, panggung pendopo menjadi medan imajinasi, di mana kata-kata menjadi gerak, dan musik menjadi warna suasana.
Seorang pencerita utama memandu jalannya kisah, bak dalang yang tak sekadar menyuarakan cerita, tapi menyalakan ruang-ruang kosong di benak penonton.
Di sekelilingnya, para aktor bergerak laksana wayang—kadang menyusup dalam narasi, kadang meledak dalam aksi. Sesekali tarian muncul, tak untuk memamerkan keterampilan, tetapi untuk menambah denyut emosional cerita. Di layar, gambar dokumenter dan foto hitam putih menjadi pintu yang membawa penonton menembus batas waktu.
Musik hadir tanpa gamelan. Kali ini, harmoni piano, biola, dan cello mengalun, menciptakan atmosfer yang lembut namun sarat ketegangan. Suara gesekan senar berpadu dengan lantunan lagu yang dinyanyikan di sela-sela narasi, seolah menjadi napas bagi cerita.
Dan ceritanya adalah tentang Blora, pada 17 Agustus 1945. Tentang Ningsih, seorang gadis yang tunangannya, Hardo, memimpin perlawanan melawan pendudukan Jepang.
Tentang Karmin, sahabat yang memilih bergabung dengan pasukan Jepang sebagai komandan peleton.
Tentang Sidokan, perwira Jepang yang menjadi atasan Karmin, juga kawan-kawan seperjuangan seperti Dipo dan Kartiman. Semua bertaut dalam satu hari yang sarat ketegangan, di tengah euforia kemerdekaan yang baru diumumkan di Jakarta.
“Peristiwa ini memang fiksi,” ujar Gundala.
Tapi latar dan semangatnya begitu nyata bagi orang Blora. Penonton diminta mendengar baik-baik, membangun gambarnya sendiri dalam kepala. Tidak ada ledakan efek suara atau tata lampu yang berlebihan yang ada adalah ruang untuk menghidupkan imajinasi.
Usai pementasan, suasana pendopo tetap hangat. Diskusi dibuka. Beberapa penonton, terutama generasi muda, mengaku ingin membaca novel Perburuan secara utuh, bahkan tertarik menelusuri karya-karya Pramoedya lainnya.
Ada juga yang berharap pertunjukan selanjutnya bisa menyuguhkan bagian yang lebih luas dari novel, atau menghadirkan sentuhan musik tradisional Jawa sebagai jembatan rasa.
Namun secara umum, kesan positif mendominasi. Bupati Blora Arief Rohman duduk hingga pertunjukan usai, memberikan dukungan penuh.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Yogaswara, pun hadir, menunjukkan bahwa seni dan sastra masih punya ruang penting dalam percakapan kebudayaan nasional.
Pementasan ini bukan sekadar acara, melainkan bagian dari Program Kementerian Kebudayaan Indonesia melalui Dana Indonesiana, didukung oleh Rumah Literasi Blora, Dewan Kebudayaan Blora, dan pemerintah daerah.
Di akhir malam, ketika kursi-kursi mulai kosong, bayangan tokoh-tokoh fiksi itu masih terasa di udara.
Perburuan telah usai, namun jejaknya seperti aroma tanah setelah hujan tetap tinggal. Ia mengingatkan bahwa seni tak hanya untuk ditonton, tapi untuk dirasakan, direnungkan, dan dibawa pulang dalam hati.







