AMSI Sampaikan Masukan Strategis untuk Reformasi Polri dalam Audiensi di Setneg

 

SULAWESION, JAKARTA — Suasana ruang pertemuan di Gedung Sekretariat Negara, Rabu (26/11), terasa hangat namun penuh keseriusan ketika jajaran Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) duduk berdampingan dengan anggota Komite Percepatan Reformasi Polri.

Bacaan Lainnya

Pertemuan ini menjadi ruang dialog yang jarang terjadi—sebuah kesempatan bagi organisasi media menyampaikan langsung pandangan mereka mengenai masa depan reformasi kepolisian, khususnya di era digital.

Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, hadir memimpin rombongan bersama Ketua Badan Pengawas dan Pertimbangan AMSI Wenseslaus Manggut, serta sejumlah pengurus nasional seperti Darojatun (Pemred Merdeka.com), Andi Muhyiddin (Pemred Republika), Fathan Qorib (Pemred Hukumonline), dan Direktur Eksekutif AMSI Elin Kristanti.

Di sisi lain meja, hadir tiga tokoh penting yang kini dipercaya pemerintah untuk mengawal reformasi Polri: Badrodin Haiti, Idham Aziz, dan Ahmad Dofiri. Badrodin membuka dialog dengan penekanan bahwa masukan dari media sangat penting karena pers adalah pihak yang hampir setiap hari berinteraksi dengan kepolisian.

“Teman-teman pers yang paling sering bersinggungan dengan Polri. Karena itu kami ingin mendengar masukan hingga solusi konkret,” kata mantan Kapolri itu.

Serangan Siber Media dan Relevansinya bagi Reformasi Polri

Dalam sesi awal, AMSI menyampaikan temuan riset mengenai serangan siber yang dialami sejumlah media, khususnya jenis Distributed Denial of Service (DDoS). Dari tujuh media yang menjadi objek penelitian, empat mengalami serangan ketika sedang menayangkan berita yang berkaitan dengan kasus kepolisian.

Menurut Wahyu Dhyatmika, fakta tersebut memperlihatkan bahwa keamanan siber media tak bisa lagi dipandang sebagai urusan teknis semata.

“Reformasi Polri di era digital harus menempatkan keamanan siber media sebagai bagian dari keamanan nasional,” tegas Wahyu. “Serangan siber terhadap media pada dasarnya adalah serangan terhadap demokrasi.”

Keselamatan Jurnalis di Lapangan dan di Dunia Digital

AMSI juga memaparkan hasil riset kolaboratif dengan Populix dan Yayasan TIFA pada 2024 mengenai keselamatan jurnalis. Riset itu menunjukkan dua spektrum ancaman yang sama-sama nyata: kekerasan fisik di lapangan dan serangan digital yang semakin sistematis.

Wenseslaus Manggut menyoroti bahwa banyak kasus ancaman terhadap jurnalis justru terjadi di daerah, di mana pemahaman aparat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa pers masih minim.

“Kami sering menghadapi situasi di mana jurnalis di daerah harus kami evakuasi ke Jakarta karena penanganan di daerah tidak efektif,” ungkap Wenseslaus. “Dialog seperti ini penting untuk dihidupkan kembali.”

Isu Pelabelan Hoaks oleh Polisi terhadap Media Arus Utama

AMSI juga menegaskan sikap terkait praktik pelabelan hoaks yang kerap dilakukan aparat terhadap konten media mainstream. Menurut AMSI, tindakan tersebut tidak hanya melanggar UU Pers, tetapi juga menimbulkan preseden buruk.

Label hoaks yang ditempelkan tanpa proses verifikasi melalui Dewan Pers, seringkali diikuti intimidasi, permintaan informal untuk menghapus berita, hingga ancaman hukum. Praktik seperti itu tidak hanya mengganggu kerja redaksi, tetapi juga berbahaya karena dapat mengkriminalisasi produk jurnalistik yang sah.

AMSI menegaskan bahwa setiap sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi, atau melalui Dewan Pers.

Apresiasi dan Dorongan ke Depan

Di tengah berbagai kritik konstruktif, AMSI juga memberikan apresiasi atas sejumlah langkah Polri yang tetap merujuk kepada UU Pers dalam menangani kasus yang melibatkan media. AMSI berharap standar tersebut dapat menjadi sikap institusional yang konsisten hingga ke level daerah.

Pada penutup dialog, AMSI kembali menegaskan peran strategis Polri dalam menjaga ruang publik yang bebas intimidasi serta mendorong kebebasan pers yang sehat.

“Kami ingin Polri lebih proaktif melindungi jurnalis dan memastikan media dapat menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Itu penting demi hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya,” ujar Wahyu.

Audiensi berlangsung lebih dari satu jam, tetapi nuansa produktif yang tercipta menunjukkan bahwa dialog antara pers dan kepolisian masih sangat mungkin dikembangkan. Pertemuan ini bukan hanya soal masukan—melainkan langkah awal memetakan ulang relasi Polri dan media dalam menghadapi tantangan demokrasi digital yang semakin kompleks.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan