BITUNG, SULAWESION.COM – Meninggalnya seorang mahasiswi Universitas Negeri Manado (UNIMA) berinisial EMM yang diduga dilatar belakangi tekanan psikis akibat adanya pelecehan dari oknum dosen UNIMA berinisial DM mendapat respon banyak pihak.
Peristiwa ini merupakan tragedi kemanusiaan yang serius dan menjadi alarm keras bagi sistem perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
Perhatian serius pula datang dari Dr. Michael Remizaldy Jacobus, S.H., M.H., advokat berdarah Nusa Utara, Rabu (31/12/2025) malam.
Lulusan terbaik doktor ilmu hukum Universitas Trisaksi ini menegaskan dugaan pelecehan seksual merupakan tindak pidana serius yang wajib diusut secara hukum.
Menurutnya, meninggalnya korban bukan alasan penghentian proses hukum pidana, karena masih ada alat bukti lain yang bisa dijadikan dasar selain keterangan korban untuk membawa pelaku ke meja hijau.
“Alat bukti surat yang ditinggalkan korban sangat rinci mengurai peristiwa, ada juga saksi-saksi terkait yang pernah bersama mendengar cerita korban. Bahkan satgas UNIMA yang sudah menerima pengaduan korban sejak tanggal 19 Desember 2025 lalu harusnya bisa jadi saksi. Kalau pun pelaku menyangkali perbuatan, maka masih banyak alat bukti yang bisa dipakai membongkar fakta yakni ahli psikologi forensik yang bisa memeriksa pelaku dan memberikan pendapat terkait keterangannya, dan juga bisa melakukan tes kebohongan. Saya sangat percaya dengan profesionalitas Polri dalam mengusut kasus ini,” tutur Jacobus.
Jacobus menambahkan bahwa apabila benar pelecehan seksual sebagai alasan tekanan psikis korban bunuh diri, maka pemidanaan bukan hanya bermanfaat memberi efek jerah kepada pelaku tetapi memberi tanda awas untuk mencegah hal serupa berulang.
“Pasal 51 huruf a KUHP baru menegaskan kalau pemidanaan (menghukum pelaku) bertujuan untuk mencegah tindak pidana terjadi kembali. Hal yang harus diseriusi dalam kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan dimana anak-anak kita dipersiapkan masa depannya. Jika tidak ditindak tegas, maka akan menyuburkan tindakan pelecehan seksual, karena bisa jadi ini seperti filosofi gunung es. Tampak dipermukaan sedikit, tapi yang tidak bersuara bisa saja jauh lebih banyak. Walaupun tidak spesifik hanya di UNIMA, melainkan fenomena ini memungkinkan melanda institusi pendidikan yang lain,” paparnya.
Ketika ditanyakan terkait ancaman pidana bagi terduga Pelaku yakni dosen berinisial DM, Jacobus menegaskan ketentuan Pasal 6 huruf b atau c UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mencantumkan hukuman 12 tahun untuk kasus serupa.
“Kedudukan pelaku DM yang adalah dosen, sedangkan korban adalah mahasiswanya dihubungkan dengan gambaran fakta yang diuraikan korban, maka unsur-unsur Pasal 6 huruf b atau c UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa saja terpenuhi dalam kasus ini. Hal itu berarti terduga Pelaku diancam 12 tahun penjara,” jelasnya.
Advokat yang dikenal kekritisannya dalam mengungkap fakta diruang sidang dalam kasus dana hibah ini juga mengharapakan ada langkah korektif dari semua institusi pendidikan, bukan hanya UNIMA dalam penanganan pengaduan peserta didik
“Jangan terjebak dengan prosedur pemberian Terlapor (terduga Pelaku) yang lambat dan berbelit-belit, tetapi menyelamatkan korban harusnya menjadi yang paling pertama. Perlindungan terhadap korban bahkan pelayanan pemulihan yang serius dari trauma akibat pelecehan seksual seharusnya tidak boleh diremehkan. Institusi pendidikan bisa berkolaborasi dengan psikiater, rohaniawan bahkan bersama-sama orang tua dapat terlebih dahulu menyembuhkan psikis korban agar pelecehan tidak berujung pada tindakan self distortion (menghancurkan diri sendiri) atau bahkan bunuh diri,” katanya.
Diakhir wawancara, Jacobus mengajak semua pihak untuk mensupport pencegahan dan penindakan tindakan pidana kekerasan seksual.
“Mari dukung UNIMA berbenah dan bertindak, serta berikan kepercayaan penuh kepada Polri untuk menegakan hukum secara profesional dan transparan. Dan jangan takut mengadukan tindakan pelecehan seksual agar bisa disentuh oleh hukum,” tutupnya.







