BITUNG, SULAWESION.COM – Kebijakan dibukanya kembali keran ekspor pasir laut oleh pemerintah pusat menuai pro dan kontra di daerah.
Merespon hal itu, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Bitung Excel Syachrul Paneo menilai, alasan pemerintah mumbuka kembali ekspor pasir laut terlalu mengada-ada.
Excel menjelaskan, dalih pemerintah selama ini bahwa penyeludupan pasir laut marak terjadi sehingga Presiden Joko Widodo membuka keran lewat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
“Hingga saat ini, kebijakan pemerintah itu tak kunjung menjawab secara gamblang apa landasan penerbitan PP tersebut,” tegasnya.
Jika alasan pemerintah ingin menghentikan penyelundupan, tutur Excel, semestinya pemerintah memperkuat penegakan hukum, bukan ekspor.
“Pembukaan keran ekspor jelas bukan solusi untuk persoalan penyelundupan. Yang terjadi justru hanya akan meningkatkan eksploitasi atau pengerukan pasir laut sehingga lingkungan semakin rusak serta bakal berdampak pada nelayan lokal,” tuturnya.
Ia juga menambahkan, di kota Bitung kasus-kasus penyeludupan pasir lewat pertambangan Galian C ilegal dan reklamasi yang dilakukan oleh sejumlah perusahan ternama dengan izin yang tidak transparan telah terjadi sejak lama. Dan itu adalah hasil dari pembiaran negara karena lemahnya pengawasan.
“Apa lagi ditambah dengan kebijakan seperti itu, maka jangan harap narasi besar yang selama ini pemerintah bangun untuk menjkadikan Indonesia sebagai poros maritim di dunia bakal tercapai,” ucapnya.
Salah satu nelayan, Malik (49) warga Kelurahan Wangurer juga ikut menanggapi adanya kebijakan tersebut. Menurut pria yang telah miliki 4 orang anak itu mengaku, kebijakan itu jika dilakukan di kota Bitung dapat mengancam hajat hidup nelayan.
“Kalau adanya pengerukan pasir dilaut, pasti dampaknya ke nelayan. Baik itu dari sisi pendapatan dan bencana alam yaitu, abrasi,” katanya.
Malik membeberkan, jika pendapatan nelayan berkurang, secara tidak langsung pengusaha yang bergerak dibidang perikanan bakal terdampak akibat hasil tangkapan nelayan yang berkurang karena ekosistem laut terganggu.
“Sedangkan tidak adanya pengerukan laut, saat ini sulit mendapatkan tangkapan ikan, apalagi kebijakan itu dijalankan di kota Bitung. Lebe mati nelayan,” beber Malik.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bitung Merianti Dumbela, saat diminta menanggapi adanya kebijakan pemerintah pusat itu tidak mau berkomentar lebih.
“Itu bukan kewenagan kami. Saya no komen ya,” singkatnya.
Peryataan Dumbela berbeda dengan Kepala Dinas Perikanan Kota Bitung, Sadat Minabari. Menurutnya, fungsi pengendalian pemanfaatan sumber daya alam harus dikontrol dengan sistem perizinan yang menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
“Artinya, selama itu punya izin dan sesuai dengan kaidah lingkungan boleh-boleh saja dilakukan pemanfaatan pasir. Tapi, di Bitung belum ada pengerukan pasir,” katanya.
Ia tidak menampik, penambangan pasir laut yang tidak terkendali akan menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut serta juga berdampak kepada nelayan.
“Maka dari itu perlu diperhatikan dengan kesesuaian tata ruang laut yakni, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang ada,” tukasnya.