BITUNG, SULAWESION.COM – Kelurahan Batuputih Bawah, Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung, mewakili Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), masuk 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Staf Ahli Bidang Inovasi dan Kreativitas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Restog Krisna Kusuma saat melakukan visitasi pada tanggal 12 September 2024 mengatakan, Kelurahan Batuputih Bawah masuk dalam 50 desa wisata.
“Artinya sudah champion. Saya yakin dengan adanya kelompok sadar wisata ini yang dengan kelembagaannya, termasuk keterlibatan masyarakat penting untuk mengembangkan kelurahan yang masuk dalam desa wisata tersebut,” katanya.
Peran masyarakat dalam mengembangkan desa wisata tersebut bisa menjadi tulang punggung dalam memviralkan, mendukung agar Kelurahan Batuputih Bawah bisa menikmati dampaknya termasuk daerah sekitar.
Kemenparekraf menurut dia, telah menyiapkan bantuan, dan tinggal pemerintahan daerah yang akan menyampaikan proposal atau usulan apa yang akan dibenahi sehingga menjadi nilai tambah.
“Dewan juri akan melihat lagi proposal tersebut apakah sesuai, dan kami juga akan menyesuaikan dengan anggaran yang ada di Kemenparekraf,” ujar Restog.
Restog menjelaskan, ADWI telah dilaksanakan selama tiga tahun. Pada tahun 2021 telah diikuti oleh 1.831 desa wisata.
Peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2022, dengan total peserta 3.419 desa wisata. Pada tahun 2023 telah mencapai angka yang mengesankan, yaitu 4.573 desa wisata.
Hingga saat ini sudah ada 175 desa wisata terbaik yang telah mendapatkan penghargaan.
Tahun 2024 ini, ADWI kembali diselenggarakan dengan mengangkat tema “Desa Wisata Menuju Pariwisata Hijau Berkelas Dunia” yang diikuti oleh 6.016 desa wisata.
Diharapkan melalui ADWI, dapat menjadi daya ungkit bagi ekonomi desa dan sebagai wahana promosi untuk menunjukkan potensi desa-desa wisata di Indonesia kepada wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, serta mewujudkan visi “Indonesia sebagai tujuan pariwisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, serta mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat”.
Sebanyak 50 desa wisata yang masuk menjadi nominasi ini, terpilih dari 6.016 desa wisata yang diusulkan di seluruh Indonesia.
Setelah melakukan penilaian dokumen dan pendukung lainnya, Kemenparekraf menurunkan tim dan juri untuk melakukan penilaian dan validasi lapangan ke 50 desa wisata yang masuk nominasi tersebut, termasuk Kelurahan Batuputih Bawah.
Kelurahan Batuputih Bawah memiliki ragam potensi. Daerah ini dikenal dengan kegiatan nelayan dengan kearifan lokalnya, serta adat dan budaya yang masih tersisa seperti pergelaran pesta adat Tulude.
Batu Putihbawah, merupakan salah satu kelurahan yang terletak di ujung Utara Kota Bitung, memiliki pesisir pantai dengan panjang pantai sekitar dua kilometer.
Sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah nelayan, yaitu sebanyak 75 persen, petani sebanyak 17 persen, dan tiga persen di bidang pariwisata, sisanya adalah karyawan.
Kampung Wisata Batuputih Bawah saat ini sedang mengembangkan objek wisata baru yaitu mulu kuala/muara sungai.
Muara sungai ini sebelumnya adalah merupakan daerah kumuh, dan hanya dipergunakan oleh nelayan untuk tambat perahu. Namun sekarang dikembangkan menjadi menjadi objek wisata yang cocok untuk berjemur, santai, makan, dan minum, sekaligus berkemah.
Di tempat ini juga, dibangun gazebo dari bambu dan daun katuk untuk tempat berteduh, dan dinamai Mulu Kuala.
Daerah ini pernah dikunjungi oleh peneliti dunia seperti Alfred Wallace. Sebagai bentuk penghargaan, dibuatlah patung Allfred Wallace di tengah hutan Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih.
Kelurahan Batuputih Bawah memiliki daya tarik yang telah mendunia mulai dari pegunungan, pantai dan hutan. TWA Batu Putih adalah jualannya.
TWA Batu Putih ini terkenal dengan flora dan fauna endemik yang telah mendunia, flora endemik yang dikenal adalah: Beringin, Aras, Pohon Bitung, Fiskus dan Nantu.
Sedangkan fauna endemik yaitu Tarsius Spectrum (monyet terkecil didunia), Macaca Nigra/Black Macaa (monyet hitam bokong merah), Anoa, Kuskus, serta burung endemik seperti: Rangkong, Burung Hantu Sulawesi, King Fisher dan lainnya.
Kampung wisata ini memiliki paket ‘Bird Waching’ untuk pecinta burung. Setiap tahunnya juga pemerintah setempat melepasliarkan satwa dan juga penyu.
Ragam seni dan budaya juga tak kalah menariknya, seperti aktivitas nelayan dengan kearifan lokalnya, serta adat dan budaya yang masih tersisa.
Tari Gunde misalkan. Tarian tradisional dari Kabupaten Kepulauan Sangihe tersebut, dibawakan oleh para wanita dengan gerakan lembut dan diiringi musik tradisional.
Bagi masyarakat Sangihe, tarian ini merupakan tarian sakral dengan filosofi mendalam. Dahulu, digunakan dalam upacara penyembahan kepada sang pencipta alam semesta.
Para penari mengenakan busana adat yang disebut Laku Tepu, terdiri dari baju panjang dan kain sarung khas Sangihe. Rambut digulung dan dihiasi mahkota kecil, serta dilengkapi aksesoris seperti anting, gelang, kalung, dan kain selempang.
Selama menari, mereka juga membawa sapu tangan sebagai bagian dari gerakan tarian. Tari Gunde sering ditampilkan dalam berbagai acara budaya dan festival di Sulut.
Berikutnya, Maengket atau Tari Maengket adalah tari tradisional suku Minahasa, yang dari zaman dulu kala sampai saat ini masih berkembang.
Tari Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyatnya saat itu mengenal pertanian. Tarian Maengket dilakukan pada saat sedang panen hasil pertanian dengan gerakan-gerakan sederhana.
Sekarang tarian Maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya. Kata maengket terdiri dari awalan ma dengan kata dasar engket. Kata ma berarti sedang melaksanakan dan engket artinya mengangkat tumit naik turun sesuai lagu.
Selain itu, Kabasaran atau tarian perang dari daerah Minahasa, Sulut. Tarian ini melambangkan keberanian.
Tak kalah indahnya juga adalah kesenian Masamper. Kesenian Masamper merupakan grup seni bernyanyi yang memadukan dua unsur utama, yaitu vokal dan sentuhan gerakan seirama, disertai dengan gerak tari dari si pembawa lagu (pengaha).
Dalam tradisi Masamper, tidaklah sekadar menyanyi bersama anggota. Bagian tengah lokasi masamper dibiarkan kosong, menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.
Berikutnya, Mapalus (baku bantu/gotong royong) merupakan salah satu kebudayaan di Sulut yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Di Batuputih, budaya Mapalus bisa kita temukan di kalangan nelayan. Para nelayan masih menerapkan budaya mapalus sebelum melaut untuk mencari ikan, dan setelah kembali melaut.
Peralatan dan perahu yang digunakan para nelayan masih tradisional, sehingga masyarakat sekitar juga turut membantu proses melaut para nelayan.
Masyarakat setempat mengenal istilah “Batola” yang berarti saling membantu, mendorong perahu ke laut. Dan istilah “Badola” yang berarti membantu nelayan kembali dari laut, kemudian menarik perahu nelayan ke darat. Dan orang yang membantu akan mendapatkan ikan sebagai balasannya.
Budaya Tulude, merupakan upacara adat tahunan yang diwariskan dari para leluhur masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sangihe pa Talaud dan Sitaro), tentang makan bersama. Nusa Utara itu terletak di ujung utara provinsi Sulut.
Tulude ini dipahami sebagai suatu proses penolak bala, atau menolak sesuatu yang mendatangkan malapetaka dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu, jenis kriya khas Desa Wisata Batuputih Bawah adalah gantungan kunci yang terbuat dari batok kelapa.
Sedangkan ragam kuliner di antaranya, Sambal Roa, Abon Cakalang, Abon Tuna, Kripik Pisang, Amplang Tuna, Samosa Tuna, Bakso Tuna, Nugget Tuna, SasiBi (Sasimi Bitung), olahan Ikan Tude.
Mewakili Menparekraf, Sandiaga Uno,
Staf Ahli Bidang Inovasi dan Kreativitas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Restog Krisna Kusuma. Selain itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulut Devy Kandouw-Tanos, Kepala Dinas Pariwisata Kota Bitung Pingkan Kapoh, pokdarwis, pemerintah kelurahan serta undangan lainnya.
(***/Siaran Pers)