BOLMUT,SULAWESION.COM- Masalah debu batu bara yang berasal dari PLTU Sulut 1 menjadi perhatian dalam pertemuan di kantor camat Bolangitang Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) Rabu 24 Desember 2025.
Pertemuan itu dihadiri langsung oleh Camat Bolangitang Timur (Boltim) Yahya Botutihe, kepala desa di wilayah Boltim, tokoh masyarakat, Dinas Lingkungan hidup (DLH) dan pihak PLTU.
Dalam pertemuan tersebut beberapa masalah dikemukakan oleh peserta yang hadir dihadapan pihak PLTU diantaranya masalah debu batu bara. Selanjutnya pembongkaran batu bara dari kapal Tongkang.
Menariknya ada penyampaian dari salah satu peserta mengenai sosialisasinya oleh PLTU dimana sebelum jalan tidak ada dampak polusi. Tetapi ternyata ada dampaknya.

Mereka menyampaikan dampak batu bara yang masuk ke rumah warga. Sekolah, tempat ibadah. Bahkan masalah abrasi pantai turut disampaikan.
Selain itu para peserta kecewa, pasalnya pihak PLN dan Batu Bara tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Sebelumnya, Evi Pantas guru sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Negeri Tuwokona, Binjeita II, Kecamatan Bolangitang Timur merasa khawatir dengan kesehatan anak didiknya akibat debu yang ia sebut berasal dari Batu Bara PLTU.
Dirinya juga khawatir terhadap kesehatannya. Apalagi Evi saat ini sudah berumur 50-an tahun. Sekolahnya sangat dekat dengan PLTU Sulut 1 Binjeita.
Selain sekolah TK. Disamping juga ada sekolah Pendidikan Usia Dini (Paud) KB Theodora informasi dari guru mereka ada 25 siswa disini.
“Disekolah saya ada enam siswa. Saat ini saya rutin membersihkan debu batu bara yang terdapat dilantai sekolah,”katanya.

Menurut Evi, ada salah satu siswa yang beberapa kali terkena batuk dan demam. Ia pun belum mengetahui apa penyebabnya.
“Mereka kan sering bermain. Selain itu ada juga yang sering membawa makanan dari rumah,”jelasnya.
Carya Maharja, psikolog lingkungan dari Puspa Hanuman mengatakan PLTU akan memiliki dampak, tapi dampak seperti apa itu perlu penelusuran lebih lanjut dengan masyarakat, akademisi, masyarakat sipil dan industri itu sendiri.
“Tentu saja karena kita bicara sistem sosial-ekologis, proyek PLTU ini akan memiliki dampak sosial dengan bermacam skala, mulai dari lokal, regional, nasional, hingga internasional,”katanya.
Dampak ini akan memberikan efek feedback kepada lingkungan yang akan bergulir terus dalam hubungan dua arah antara manusia dan lingkungan.
“Jadi ketika bicara dampak sosial dari PLTU tidak bisa dipisahkan dari dampak lingkungan,”ujar Carya yang saat ini sedang menempuh studi S3 di Inggris.
Baginya penting mempertahankan tradisi namun semua pihak tak boleh naif. Perlu upaya adaptasi yang disokong dukungan pihak-pihak yang berkuasa, seperti pemerintah untuk memastikan adaptasi ini tidak merugikan kesejahteraan manusia dan kesehatan lingkungan.
Sementara itu dilansir dari Yayasan Indonesia Cerah proses pembakaran batu bara untuk menghasilkan energi menghasilkan emisi berbagai zat berbahaya, termasuk sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat, dan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2).

Emisi ini menyebabkan peningkatan polusi udara yang dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan secara keseluruhan.
Selanjutnya Paparan polutan yang dihasilkan dari pembakaran batu bara memiliki dampak serius pada kesehatan manusia.
Partikel-partikel kecil yang terhirup dapat menyebabkan gangguan pernapasan, penyakit jantung, dan bahkan kematian.
Peningkatan polusi udara juga dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan kronis seperti asma dan bronkitis.







