PLTU Sulut 1 Hadir: ‘Nelayan Pergi Mencari Ikan Pulang Bawa Batu Bara’

Nelayan Saat Berada di Jeti Sementara milik PLTU. Mereka memanfaatkan tempat ini menjadi lokasi untuk memancing. (Foto Fandri Mamonto)

Keberadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sulut 1 di Bolangitang Timur, Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, bakal menjadi nestapa bagi sebagian nelayan setempat. Tak hanya wilayah tangkapan yang terbatas, tumpahan batu bara dari kapal pengangkut, adalah persoalan lain yang menghantui.

SORE ITU, matahari perlahan terbenam, mengintip dari belakang bukit. Debur ombak pantai terdengar. Para nelayan mulai berdatangan di pantai Desa Binjeita II, Kecamatan Bolangitang Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sulawesi Utara.

Bacaan Lainnya

Salah satu diantaranya Yap. Nelayan yang sering memancing di pantai Binjeita II ini datang bersama istrinya. Saat ditemui disela-sela memancing, Yap belum mendapatkan ikan. Berbeda dengan istrinya yang sudah mendapatkan beberapa ikan.

“Sudah dapat beberapa ekor, tapi kecil,”ujar Istri Yap.

Pasangan suami istri itu memanfaatkan jeti sementara PLTU Sulut 1 di desa Binjeita II untuk lokasi memancing. Pasalnya jeti tersebut sudah tak digunakan lagi. Menurut Yap, jika ada pembongkaran batu bara dari kapal , kemungkinan untuk mendapatkan ikan sangat kecil.

“Karena batu bara akan jatuh ke pantai dan tergolong banyak”, katanya, Minggu (1/9/2024) sekitar pukul 17.21 WITA.

Sembari bercanda, Yap mengatakan istrinya pernah membawa pulang batu bara seukuran tas yang sering di bawa ke pasar. Ia belum mengetahui jelas bagaimana dampak tumpahan batu bara ke laut pada ikan.

“Yang saya ketahui katanya ada racun. Akan tetapi kami tetap memakan ikan yang didapat dari hasil pancingan ,” ungkapnya.

Hampir sama dengan Yap, Narko, nelayan tradisional lainnya mengatakan belum mengetahui soal dampak batu bara. Hanya saja saat ini dengan adanya pembangunan PLTU, ruang menangkap ikannya sudah terbatas.

Narko berjalan di pinggir pantai sambil menarik papan.  Ia terus berjalan sepanjang garis pantai di desa Binjeita II untuk mendapatkan ikan. Namun sejak ada PLTU, jaraknya sudah tak terlalu jauh. Ini berdampak pada hasil tangkapannya.

“Katanya sudah dilarang, apalagi menangkap ikan seperti saya ini, sudah tidak bisa lagi melewati dermaga PLTU,”ujar warga Binjeita ini.

Bukan hanya Narko. Di pantai Binjeita II Kita bakal melihat nelayan ‘papan’ lainnya yang mencari ikan dengan berjalan dipesisir pantai. Tampak salah satu nelayan papan yang memutar balik ketika sudah berada dekat di dermaga PLTU. (Foto Fandri Mamonto)

Menurut  dia, biasanya hasil tangkapannya kalau dijual bisa dapat sampai Rp100 ribu sekali turun. “Malam ini hanya cukup untuk makan saja,” tuturnya.

Soprit, warga lainnya menuturkan tumpahan batu bara sering terlihat di pantai jika ada pembongkaran. Dia  khawatir hal ini berdampak pada potensi perikanan di wilayahnya. Selain itu ia khawatir pembuangan dari PLTU yang mengarah ke laut.

Kepala Desa Binjeita II Ibrahim Coloay mengatakan tumpahan batu bara sering terjadi jika ada pembongkaran dari kapal pengangkut. Termasuk saat masuk ke PLTU melalui relnya.

“Batu bara yang jatuh ke pantai ini dikumpul oleh warga, bahkan sampai berkarung-karung,”ujarnya.

Ia mengaku sempat khawatir jika digunakan masyarakat untuk memasak atau membakar ikan bisa berdampak pada kesehatan mereka.

“Saya sudah mengimbau mereka agar jangan membakar ikan dengan batu bara secara langsung. Itu sudah saya sampaikan,”kata sangadi sebutan kepala desa di Bolmut.

Sebagai pemimpin di desa, dia  sudah menanyakan ke pihak PLTU soal bagaimana agar batu bara tidak jatuh lagi ke pantai. Menurutnya dari pihak PLTU sudah berjanji akan mengatasi masalah tersebut.

Tampak nelayan dan beberapa warga saat melihat ikan yang berada dijaring di pantai Binjeita II. (Foto Fandri Mamonto)

Bukan hanya soal batu bara yang jatuh ke pantai, tapi soal kebisingan, hingga debu yang dihasilkan ketika sudah beroperasi, juga sudah ditanyakan kepada pihak PLTU. Termasuk soal  pihak PLTU yang mengambil air dari laut untuk pendinginan dan setelah itu limbahnya dibuang ke laut.

Keluhan yang sama disampaikan oleh kepala desa Tanjung Labuo, Arman Pantuko. Desanya juga  berbatasan dengan kawasan PLTU.  Namun Tanjung Labuo tidak masuk desa Binaan dari PLTU. Ini berbeda dengan Binjeita II yang merupakan desa binaan.

Hal ini yang membuatnya heran. Padahal jika dilihat, Desa Tanjung Labuo sangat dekat dengan PLTU. Arman merasa khawatir kedepan, jika  PLTU sudah beroperasi, dapat mengganggu aktivitas nelayan di desanya. Apalagi sampai saat ini pihak PLTU belum memberikan gambaran atau penjelasan mengenai apakah di area sekitar PLTU para nelayan bisa menangkap ikan.

“Di desa Tanjung Labuo ini mata pencarian warga paling banyak nelayan dan petani. Nah khusus nelayan kita bisa melihat langsung bukan hanya laki-laki yang terlibat. Ada perempuan dalam hal ini ibu-ibu dan anak-anak,” katanya.

Dia berharap pihak PLTU juga bisa memberi tanda lalu lintas kapal tongkang yang memuat batu bara. Karena sejauh ini kapal tongkang tersebut melintasi jalur tempat nelayan mencari ikan di laut.

“Jangan sampai ada perahu nelayan yang tertabrak kapal tongkang. Itu yang saya khawatir. Apalagi para nelayan biasanya sampai malam mereka melaut dan hanya bermodalkan senter biasa saat berada di laut,” katanya.

Selain itu jalur kapal tongkang tersebut melewati tempat ikan yang dibuat para nelayan atau disebut rompon. Pernah kejadian saat itu kapal tongkang yang memuat bahan untuk pembangunan PLTU merusak satu rompon milik nelayan.

“Saat itu saat cuaca buruk dan hampir saja kapal tersebut terdampar di pantai desa Tanjung Labuo,”jelasnya.

Nelayan soma di desa Tanjung Labuo bersama dengan warga saat menangkap ikan. (Foto Fandri Mamonto)

Di desanya sendiri ada beberapa nelayan yang memiliki soma dampar untuk menangkap ikan. Aktivitas mereka kerap dilakukan hingga dekat area PLTU.  Yang dikhawatirkan jika nanti  akan mendapat larangan, padahal sebelum ada PLTU mereka sudah melakukan aktivitasnya di kawasan tersebut.

Setidaknya hal ini menurut beberapa nelayan sudah terbukti karena pernah ada larangan menangkap ikan di area PLTU. Padahal  jumlah nelayan yang berada dekat kawasan PLTU berdasarkan data dinas kelautan dan perikanan Bolmut berjumlah 125.

Dengan rincian desa Binjeita II berjumlah 30, Binjeita 1 mencapai 35, Bohabak II dengan jumlah 24 nelayan. Bohabak III, 10 nelayan sedangkan Tanjung Labuo mencapai 26 nelayan.

Diketahui pembangunan PLTU Sulut 1 di desa Binjeita II sempat mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Dibangun ditanah seluas hampir 31 hektar, saat itu pemerintah daerah melalui Bupati Bolmut Depri Pontoh menyampaikan lokasi PLTU dibangun ditanah negara dan telah mendapat pembebasan dari negara.

“PLTU in merupakan program nasional. Yang dikerjakan oleh PLN dan dibantu oleh lima perusahan,”ujar Depri yang kala itu masih menjabat Bupati saat mengadakan pertemuan dengan masyarakat terkait penolakan pembangunan PLTU pada tahun 2020.

Diketahui PLTU yang berkapasitas 2×50 Megawatt (MW) ini pembangunannya dikerjakan oleh lima perusahan dalam konsorsium 50c yaitu PT Inti Karya Persada Teknik, PT Pembangunan Perumahan (persero) TBK, Itochu Corporation, Sumitomo Heavy Industries dan Medco Power Indonesia.

Tahun lalu PLTU ini telah melewati tahap Boiler Hydrostatic  Test (BHT) pada unit 2. Tahap ini dianggap penting untuk menguji kekuatan dan kebocoran pada bejana tekan seperti boiler. Dimana boiler sendiri salah satu komponen terpenting dari PLTU karena memiliki fungsi dalam menghasilkan uap untuk memutar turbin dalam menghasilkan tenaga listrik.

Di Bolmut sendiri berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pelanggan listrik pada tahun 2023 mencapai 23.634 pelanggan di PLN.  Dimana pelanggan listrik didominasi oleh rumah tangga mencapai 22.129, sosial 792, usaha 423, kantor 286 dan industri 4 pelanggan.

Hak Nelayan Tradisional Disekitar PLTU Sulut 1 Harus Diperhatikan

Akademisi yang juga peneliti kelautan Rignolda Djamaluddin mengatakan pihaknya pernah mengirim dua orang di desa Binjeita II. Saat itu berdasarkan laporan, desa yang berdekatan dengan PLTU telah terjadi abrasi.

“Bagaimanapun sebuah konstruksi yang dihadirkan di pantai tentu ada dampak yang terjadi. Sehingga jika dampak itu merugikan para nelayan, tentu sebelum dilakukan pembangunan harus memperhitungkan dampaknya,” katanya.

Terkait adanya tumpahan batu bara, dosen Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ini menambahkan, hal tersebut merupakan hal yang fatal ketika batu bara tercecer ke laut.

“Karena pantai dan laut dimanfaatkan oleh nelayan untuk menghidupi keluarga mereka dan soal batu bara yang tercecer harus dikaji  masalah lingkungannya,”ungkapnya.

Nelayan Binjeita II Saat Mencari Ikan. Tampak Dermaga PLTU Sulut 1 Terlihat. (Foto Fandri Mamonto)

Dia menambahkan para nelayan tradisional sudah lama menempati area tersebut dan memanfaatkan ruang pesisir. Karena itu hak-hak tradisional mereka juga harus diperhatikan. Kondisi saat ini menempatkan nelayan pada posisi sulit. Inti membutuhkan solusi terbaik .

“Mestinya keberadaan PLTU tersebut tidak merampas hak-hak mereka dan mereka tidak dikorbankan. Perlu ada edukasi dan harus memahami profesi mereka sebagai nelayan,”ujarnya.

Sementara itu Terpisah Carya Maharja, psikolog lingkungan dari Puspa Hanuman mengatakan tantangan yang dihadapi nelayan tradisional tidak hanya terbatas pada proyek PLTU. Sejumlah persoalan lain juga harus dihadapi seperti melimpahnya sampah plastik di laut, perubahan iklim yang menyebabkan naiknya temperatur laut dan asidifikasi.

“Hal-hal seperti ini memiliki efek kumulatif dan dapat mengacaukan sistem sosial-ekologis kelautan di mana nelayan tradisional merupakan bagian tak terpisahkan,”jelasnya, Senin 14 Oktober 2024.

Menurutnya, tentu saja PLTU akan memiliki dampak, tapi dampak seperti apa itu perlu penelusuran lebih lanjut dengan nelayan, akademisi, masyarakat sipil dan industri itu sendiri.

“Tentu saja karena kita bicara sistem sosial-ekologis, proyek PLTU ini akan memiliki dampak sosial dengan bermacam skala, mulai dari lokal, regional, nasional, hingga internasional. Dampak ini akan memberikan efek feedback kepada lingkungan yang akan bergulir terus dalam hubungan dua arah antara manusia dan lingkungan. Jadi ketika bicara dampak sosial dari PLTU tidak bisa dipisahkan dari dampak lingkungan,”ujar Carya yang saat ini sedang menempuh studi S3 di Inggris.

Baginya penting mempertahankan tradisi namun semua pihak tak boleh naif.  Perlu upaya adaptasi yang disokong dukungan pihak-pihak yang berkuasa, seperti pemerintah untuk memastikan adaptasi ini tidak merugikan kesejahteraan  manusia dan kesehatan lingkungan.

“Adaptasi penting karena PLTU ini bukan suatu sistem terisolasi, disitu ada banyak keterikatan seperti pergerakan modal global dan kebutuhan energi nasional pada jangka pendeknya,”ungkapnya.

Yang perlu diperhatikan kata dia, adalah kesempatan penghidupan dan kehidupan nelayan tradisional dan bagaimana mereka bisa menemukan kesejahteraan dalam perjalanan kehidupan dan kebudayaan mereka yang tidak statis.

Alami Abrasi Parah Setelah Ada Pembangunan PLTU

Abrasi adalah persoalan lain yang dihadapi nelayan. Kepala desa Binjeita II Ibrahim Coloay bahkan mengaku sangat khawatir karena selama ia tinggal di wilayah tersebut, tidak pernah ia melihat fenomena abrasi pantai yang parah seperti pafa Desember 2022.

“Hingga saat ini masih trauma jika pada musim abrasi. Tahun lalu saya memantau terus suasana pantai jika cuaca buruk,”ungkapnya.

Abrasi pantai pada tahun 2022 membuat pohon kapuraca yang hidup puluhan tahun roboh. Bahkan satu kantin milik warga harus pindah. Sehingga juga membuat perubahan pesisir pantai.

“Kan kita bisa lihat bagaimana pohon kapuraca yang sudah besar roboh. Pohon tersebut hidup puluhan tahun,”katanya, Minggu 1 September 2024.

Menurutnya, di wilayahnya memang sering terjadi abrasi tapi baru pada tahun 2022 kondisinya parah. Sejauh ini dugaan sementara akibat adanya proyek PLTU.

Abrasi Pantai Yang Terjadi di desa Binjeita II Pada Tahun 2022. (Dok Pemdes Binjeita II)

“Pihak PLTU membuat jeti sementara, sehingga dugaan kami abrasi parah tersebut disebabkan oleh adanya pembangunan tersebut,” jelasnya.

Hal yang sama disampaikan oleh kepala desa Tanjung Labuo Arman Pantuko. Dia menyebut tahun  2022 menjadi tahun terparah abrasi yang dialami di desanya. Bahkan saat abrasi tersebut desanya mengalami banjir rob hingga ke pemukiman warga.

“Saat itu sumur warga ada yang kemasukan  air asin akibat banjir rob. Air dari pantai tergenang di halaman rumah warga. Saat ini juga saya waspada, tahun 2023 lalu terus bersiaga saat cuaca buruk. Termasuk kalau terjadi dampak angin barat,”tutur Pantuko.

Berbeda dengan kepala desa Binjeita II, Arman Pantuko belum mengetahui mengapa abrasi 2022 sangat parah. Hanya saja sebelum ada pembangunan PLTU tidak pernah ada kejadian seperti itu.

Sementara itu asisten peneliti pascasarjana divisi ilmu kelautan sekolah ilmu dan teknik kelautan Universitas Missisippi Selatan Ardian Rizal mengatakan pada umumnya pantai di Indonesia sering terjadi abrasi. Terkait apakah pembangunan jeti (dermaga) memperparah abrasi,  dia mengatakan perlu kajian.

“Adanya jeti atau dermaga tersebut bisa memodifikasi memperparah abrasi atau memperlemah gelombang,”ujarnya, Rabu 9 Oktober 2024.

Dia mempertanyakan  apakah sejauh ini sudah dilakukan kajian terkait fenomena ini. Kalau belum, maka perlu dilakukan kajian dan dipublikasikan ke publik. Hal ini agar pemerintah bisa menemukan solusi dari dampak pembangunan PLTU tersebut .

Kordinator Indonesian Climate Justice Literacy (ICJL) Firdaus Cahyadi mengatakan seharusnya jika ada pembangunan, termasuk PLTU harus melibatkan masyarakat sekitar.

“Mereka masyarakat harus tau apa dampaknya terhadap lingkungan. Sehingga perlu diungkap ke publik,”ujarnya sambil menambahkan pembangunan PLTU tentu akan ada dampaknya kepada masyarakat. Termasuk ekosistem laut.

DLH Bolmut Bakal Tindaklanjuti Aktivitas Pembongkaran Batu Bara 

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara bakal menindaklanjuti aktivitas pembongkaran batu baru oleh PLTU Sulut 1. Pasalnya pada laporan semester 1 tahun 2024 PLTU tidak menyertakan proses aktivitas pembongkaran batu bara apalagi tumpahan batu baranya jatuh ke pantai.

“Kami akan tindaklanjuti dan menanyakan ke pihak PLTU mengenai hal tersebut,”ujar kepala DLH Bolmut Hidayat Panigoro melalui kepala bidang Penataan, Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan hidup Raden Mokoginta.

Tampak Kapal Pengangkut Batu Bara Saat Berada di Dermaga PLTU Sulut 1. (Foto Fandri Mamonto)

Menurut Raden walau bukan kewenangan mereka, akan tetapi hal tersebut akan dikordinasikan dengan PLTU dan DLH Provinsi Sulawesi Utara.

“Kami juga terbuka jika ada laporan masyarakat mengenai dampak terhadap lingkungan. Tentu laporannya harus jelas. Nanti kami akan tindaklanjut ke DLH Provinsi,”jelasnya.

Menariknya, Pemerintah Kabupaten melalui DLH Bolmut pernah mengirim surat teguran ke PLTU. Hal ini setelah  PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero Tbk dinilai tidak berkomitmen terkait perjanjian retribusi persampahan dengan pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).

Pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bolmut memberi teguran kedua pada PT PP terkait retribusi persampahan/kebersihan. Teguran tersebut terkait belum dibayarnya retribusi persampahan sejak Juni 2023 sampai April 2024.

Teguran pertama dilayangkan pada tanggal 25 Maret 2024, terkait belum dibayarnya retribusi sampah pada Juni sampai Desember 2023.

Padahal diketahui pemerintah daerah Kabupaten Bolmut dan PT PP telah melakukan perjanjian kerjasama tentang pengelolaan sampah di PLTU Binjeita sejak 24 Juni 2022 dengan nomor 660/854/SETDAKAB.DLHK.

Kepala DLH Bolmut Hidayat Panigoro mengatakan pihaknya sudah memberikan teguran pertama kepada PT PP. Pihaknya juga sudah berkoordinasi langsung ke perusahaan pada tanggal 8 Mei 2024, sekaligus menyampaikan tagihan retribusi sampah Januari-April 2024.

Dalam kunjungan tersebut DLH Bolmut menemukan tumpukan sampah di PLTU. Setelah melakukan kunjungan pihak perusahaan belum menyelesaikan pembayaran retribusi sampah.

Kepala DLH Bolmut Hidayat Panigoro saat melakukan kunjungan ke PLTU Binjeita. Pihaknya menemukan tumpukan sampah pada 8 Mei 2024. (Foto: DLH Bolmut)

“Sehingga kami mengeluarkan surat teguran kedua pada hari ini, sekaligus melarang atau menghentikan sementara truk perusahaan membuang sampah di TPA,” tegas Panigoro.

Sementara itu dalam laporan hasil pelaksanaan RKL-RPL tahap konstruksi periode Januari-Juni 2024, Pembangunan PLTU Sulut-1 (2×50 MW) juga tak mencantumkan gangguan lalu lintas kapal tongkang pembawa batu bara. Yang dilaporkan  hanya lalu lintas pada jalan trans Sulawesi.

Laporan lainnya menyebut telah terjadi trend peningkatan Sulfur Dioksida (SO2) di lokasi pembangunan PLTU dibandingkan hasil pengukuran semester 2 tahun 2023. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kegiatan konstruksi dan penggunaan alat berat.

Walaupun terjadi peningkatan, akan tetapi nilainya masih di bawah baku mutu yang ditetapkan. Dalam penjelasan tersebut S02 merupakan salah satu komponen polutan udara hasil pembakaran pada proses industri, kendaraan bermotor, generator listrik atau sampah organik.

Pada konsetrasi tinggi, gas ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atau reaksi dengan uap air di udara dapat menyebabkan hujan asam.

 

 

Liputan ini merupakan fellowship isu dampak pembangunan Proyek Stategis Nasional (PSN) kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar dan Internews.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *