BULUKUMBA,SULAWESION.COM– Migrasi warga Bulukumba sejak 1985 membentuk komunitas pesisir produktif di Konawe, dengan akar sejarah, konflik administratif, dan semangat gotong royong.
Migrasi Awal: Dari Tembe Menuju Pesisir Konawe
Gelombang pertama orang Bulukumba yang datang ke pesisir Konawe bukan langsung dari tanah kelahiran mereka di Sulawesi Selatan. Mereka lebih dahulu tinggal selama lima tahun di Desa Hukaea, Kecamatan Rumbia, wilayah Buton (sebelum menjadi Kabupaten Bombana). Sekitar tahun 1985, mereka memutuskan mencari peluang ekonomi baru di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara.
Tujuan utama mereka adalah lahan mangrove dan nipah yang membentang dari Desa Muara Sampara hingga Lalimbue Jaya di Kecamatan Sampara. Kawasan ini dianggap cocok untuk dijadikan tambak ikan bandeng, udang, dan kepiting.
Membangun Dari Nol: Rumah Rumbia dan Lahan Tambak
Rombongan pertama tiba dengan membawa semangat tinggi, meski dengan modal seadanya. Mereka membangun rumah dari bahan alam: batang kayu, pohon rumbia, dan daun nipah. Pemukiman awal berdiri di kawasan Lapulung, Tanjung Kelapa, hingga desa-desa pesisir lainnya.
Dalam hitungan bulan dan tahun, kerabat dari Hukaea menyusul. Setiap pendatang berupaya mencari lahan, yang sebagian besar didapat melalui persetujuan pemerintah desa. Ini membuat mereka bebas dari konflik dengan warga lokal dan memperkuat legitimasi keberadaan mereka.
Harmoni Sosial dan Budidaya Tradisional
Yang membuat mereka bertahan bukan hanya tambak, tapi juga ikatan sosial. Gotong royong dan solidaritas tumbuh di antara warga Bulukumba dan penduduk asli. Mereka menangkap benur dan bibit ikan langsung dari pantai, lalu membesarkannya hingga panen, dijual ke pasar Mandonga, Kendari.
Hasilnya belum membuat mereka sejahtera sepenuhnya, tapi cukup menopang kehidupan. Model budidaya ini menjadi dasar ekonomi keluarga dan menguatkan jaringan sosial antarkelompok.
Tersandung Aturan: Surat Pindah yang Terlambat
Pada tahun 1987, pemerintah Kecamatan Sampara menertibkan administrasi warga pendatang. Warga Bulukumba diminta menunjukkan Surat Keterangan Pindah (SKP), yang ternyata tak satu pun mereka miliki.
Muhammad Sahid, salah satu tokoh rombongan, kemudian kembali ke Hukaea untuk mengurus dokumen tersebut. Kepala Desa Hukaea, Fattah Ibrahim, sempat menyayangkan keteledoran itu, namun tetap mengeluarkan SKP. Ia bahkan menulis surat pribadi yang dibacakan kepada warga sebagai amanah:
“Di mana saja kita berpijak hendaklah pandai-pandai menyesuaikan diri terutama kepada pemerintah yang bersangkutan.”
Surat ini tidak hanya menjadi dokumen resmi, tapi juga simbol restu dan pengakuan.
Gelombang Kedua dan Perluasan Wilayah
Memasuki 1990-an, rombongan baru datang langsung dari Bulukumba melalui penyeberangan Bajoe–Kolaka. Mereka tidak lagi singgah di Hukaea, tetapi langsung menuju Konawe. Lokasi tambak pun meluas ke Lalonggobuno, Pulau Harapan, Motui, Morosi, dan Tondowatu.
Mereka memperoleh lahan dengan sistem ganti rugi kepada pemilik sah. Keberhasilan demi keberhasilan diraih: anak-anak mereka disekolahkan hingga S1, S2, bahkan S3. Beberapa menjadi anggota TNI, Polri, dan profesional di berbagai bidang.
Dari Rumbia ke Generasi Baru
Kini, anak-cucu hasil pernikahan antar-etnis menjadi jembatan kebudayaan. Warga Bulukumba telah berbaur penuh dengan masyarakat lokal. Hubungan keluarga Sulsel–Sultra tetap terjalin lewat kunjungan lintas provinsi. Jarak tak memutus silaturahmi, malah memperluasnya.
Penutup: Warisan dari Lumpur Tambak
Apa yang dulunya dimulai dari hutan nipah dan rumah rumbia, kini telah membentuk satu komunitas berdaya. Migrasi ini bukan sekadar perpindahan fisik, tapi kisah tentang tekad, negosiasi sosial, dan adaptasi budaya. Dari tanah lumpur tambak, tumbuh harapan baru yang diwariskan kepada generasi mendatang.