SULSEL,SULAWESION– Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan melalui Tim Wildlife Rescue Unit (WRU) melakukan pelepasliaran satwa sebanyak 149 ekor Kura-Kura Batok Sulawesi (Cuora amboinensis) bersama dengan Polhut KPH Bulusaraung, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Pelepasliaran satwa liar jenis Kura-Kura Batok Sulawesi dilakukan di hutan produksi, Dusun Sakeang, Desa Benteng Gajah, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros pada Jumat tanggal 22 Juli 2022.
Kura-Kura Batok yang dilepasliarkan merupakan hasil kegiatan penegakan hukum peredaran tumbuhan dan satwa ilegal di Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan informasi yang diterima oleh Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan bahwa pada tanggal 29 Juni 2022 Ditpolairud Polda Jatim bersama dengan Balai Besar KSDA Jawa Timur dan Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya telah melakukan operasi penertiban peredaran TSL terhadap Kapal Penumpang KM Dobonsolo (Rute Makassar – Tanjung Perak) di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Balai Besar KSDA Jawa Timur kemudian melakukan translokasi satwa yang kemudian diterima oleh Tim WRU Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan sebanyak 149 ekor kura-kura batok yang sampai di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar pada Selasa tanggal 19 Juli 2022 melalui jalur udara menggunakan cargo pesawat Citilink dengan nomor penerbangan QG 354.
Proses translokasi dilengkapi dokumen SAT-DN serta sertifikat kesehatan satwa sebagai dokumen perjalanan satwa tersebut.
Dari hasil pemeriksaan dan pengecekan kesehatan satwa selama 2 (dua) hari di kandang transit Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan oleh Tim Medis Dokter Hewan, Kura-Kura Batok (Cuora amboinensis) yang berjumlah 149 ekor dalam kondisi sehat dan dapat dilepasliarkan di alam.
Lokasi pelepasliaran merupakan lokasi habitat Kura-Kura Batok sesuai dengan hasil Studi Habitat dan Populasi Cuora amboinensis di Kecamatan Tompobulu Kab. Maros (Rahim A, 2020).
Amboinensis amboinensis disebut sebagai kura-kura kotak Wallacea atau juga Kura-Kura Batok Sulawesi yang memiliki ciri utama tiga garis kuning yang terletak antara bagian leher sampai hidung pada kedua sisi kepalanya (Afryani, 2014).
Sama halnya dengan tantangan yang dihadapi satwaliar lainnya, C.a. amboinensis juga mengalami pemanfaatan satwa liar secara konsumtif seperti bahan konsumsi dan kesenangan dengan tujuan sebagai hobi ataupun koleksi yang dapat berdampak pada populasi.
Meningkatnya tren memelihara kura-kura batok membuat banyak orang memburu dan menangkapnya, baik dimanfaatkan secara langsung ataupun dijadikan sebagai salah satu hewan yang diperdagangkan.
Menurut Schope (2009), Indonesia adalah pemasok utama beberapa spesies satwa untuk bahan yang digunakan sebagai pengobatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine) dan pasar hewan peliharaan. Adanya perdagangan kura-kura menjadi salah satu faktor pemanenan terhadap kura-kura semakin meningkat sehingga terjadi penurunan populasi yang signifikan. Satwa yang dianggap kurang bernilai dan terabaikan. C. a. amboinensis sendiri telah dikategorikan sebagai spesies Vulnerable oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan terdaftar sebagai Appendix II CITES.
Ancaman lainnya bagi spesies ini adalah penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian. Selain itu, minimnya pemahaman masyarakat akan peran dan manfaat kura-kura batok sulawesi dalam ekosistem dan bagi manusia menjadi salah satu kendala dalam upaya konservasi jenis kura-kura Batok.
Sumber: BKSDA Sulawesi Selatan
Editor: Supardi Bado