Disperindag Kotamobagu: Legalitas Pabrik Tidak Otomatis Melegalkan Penjualan Bir

KOTAMOBAGU, SULAWESION.COM— Langkah tegas Jaksa eksekusi bersama aparat terkait dalam memusnahkan minuman beralkohol jenis bir di Kota Kotamobagu menuai apresiasi luas dari masyarakat.

Namun di balik dukungan tersebut, muncul pula pertanyaan publik mengenai alasan pabrik bir tidak ditutup, sementara produknya justru dimusnahkan di daerah.

Bacaan Lainnya

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Perdagangan Kota Kotamobagu, Aryono Potabuga, menjelaskan bahwa minuman beralkohol jenis bir bukan merupakan barang ilegal secara mutlak.

Negara telah mengatur dan melegalkan keberadaannya melalui mekanisme perizinan serta perpajakan.

“Minuman bir diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan. Selain itu, produk ini juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta pajak daerah tertentu. Pabrik yang memproduksi bir memiliki izin resmi dari Pemerintah Pusat, sehingga secara hukum pabrik tersebut legal dan tidak bisa serta-merta ditutup,” ujar Aryono.

Meski demikian, Aryono menegaskan bahwa legalitas tersebut bersifat terbatas dan bersyarat. Negara hanya memperbolehkan peredaran minuman beralkohol apabila seluruh ketentuan perizinan dipenuhi secara berjenjang, mulai dari tingkat produksi, distribusi, hingga penjualan.

Hal senada disampaikan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Kotamobagu, Sahaya Mokoginta. Ia menegaskan bahwa persoalan utama di daerah bukan terletak pada aktivitas produksi pabrik, melainkan pada peredaran dan penjualan minuman beralkohol yang tidak mengantongi izin resmi dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

Menurutnya, terdapat sejumlah ketentuan yang wajib dipenuhi agar peredaran minuman bir dinyatakan legal oleh negara. Pertama, seluruh pelaku usaha wajib memiliki izin sesuai perannya, yakni izin produksi bagi pabrik, izin distribusi bagi distributor, serta izin resmi penjualan bagi penjual.

Di Kota Kotamobagu, penjual minuman beralkohol tidak memiliki izin dari kementerian terkait, sehingga peredarannya dinyatakan melanggar hukum.

Kedua, terdapat pembatasan usia konsumen. Penjualan minuman beralkohol hanya diperbolehkan kepada konsumen dewasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, terdapat pengaturan tempat dan waktu penjualan. Minuman beralkohol tidak boleh dijual secara bebas, melainkan hanya pada lokasi dan waktu tertentu yang telah ditetapkan.

“Tiga ketentuan tersebut tidak dipenuhi oleh penjual di Kota Kotamobagu. Oleh karena itu, aparat berwenang melakukan penyitaan dan pemusnahan barang, meskipun pabrik yang memproduksi tetap beroperasi secara legal,” tegas Sahaya.

Ia menambahkan, pada prinsipnya penjualan minuman beralkohol adalah dilarang.

Negara hanya memberikan pengecualian melalui izin resmi dari Kementerian Perdagangan, sebagaimana yang dimiliki oleh pabrik produsen.

Tanpa izin tersebut, setiap bentuk penjualan minuman beralkohol di daerah dinyatakan ilegal dan wajib ditindak.

Dengan demikian, pemusnahan bir di Kota Kotamobagu tidak dapat dimaknai sebagai pembiaran terhadap pabrik yang tetap berproduksi.

Perbedaan perlakuan hukum tersebut terjadi karena objek penindakan berada pada mata rantai yang berbeda. Pabrik tetap beroperasi karena memiliki izin produksi resmi dari Pemerintah Pusat dan berada di luar kewenangan pemerintah daerah.

Sementara itu, ketika produk tersebut diedarkan dan dijual di daerah tanpa izin yang dipersyaratkan, pemerintah daerah wajib melakukan penyitaan dan pemusnahan.

Hal ini menegaskan bahwa legalitas produksi tidak serta-merta melegalkan peredaran di daerah. Produksi, distribusi, dan penjualan merupakan tahapan hukum yang berdiri sendiri.

Ketika penjualan di tingkat lokal melanggar ketentuan, penegakan hukum dilakukan pada titik tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum dan ketertiban umum di daerah.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan