MANADO, SULAWESION.COM – Pertarungan politik sejumlah elit partai di pemilihan kepala daerah (pilkada) Sulawesi Utara (Sulut) dikupas secara komprehensif berdasarkan perspektif filsafat, pemerintahan, dan perempuan.
Pilkada Sulut memang bukanlah isu seksi, yang haus validasi layaknya “Jawasentris”. Kata DN Aidit; Jawa Adalah Koentji. Tapi menariknya, pertarungan antara kapitalis lokal, petahana, dan (purn) militer di Sulut jika ditelisik secara saksama, bakal menggugah konsep berpikir.
Perebutan kekuasaan di Sulut itu pun, kemudian menginisiasi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Manado, membuka ruang publik melalui diskusi yang dilaksanakan di Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Lantai 3 Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rabu (4/9/2024).
Dilansir dari actadiurna.id, Ketua DPC GMNI Manado, M Taufik Poli mengatakan, elit politik yang melibatkan diri di pilkada Sulut 2024 harus berpihak, dan mampu menjawab persoalan rakyat.
Mahasiswa sebagai agen intelektual, kata Taufik, wajib mempunyai landasan berpikir yang kritis sebagai instrumen untuk mengawal demokrasi. Mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat, corong dari kaum yang tertindas oleh sistem kekuasaan.
“Dalam kaitannya dengan pilkada, kami harap bahwa pilkada tidak hanya jadi ranah kontestasi yang dikuasai oleh para elit. Tapi juga pilkada itu harus betul-betul memberikan manfaat, manfaat terhadap rekonstruksi demokrasi lokal,” katanya.
“Kita harus menjaga kekuasaan, menjaga kekuasaan dengan apa? itu dengan ilmu, dengan gerakan, dengan aksi nyata, dan dengan berbagai macam lingkup, peran, dan kemampuan yang bisa kita lakukan,” sambung pria jebolan Universitas Pembangunan Indonesia (UNPI) Manado ini.
Dari perspektif filsafat, Dr Valentino Lumowa SS MA menjelaskan, kekritisan mahasiswa sangat diperlukan untuk menerawang realitas. Kontestasi politik di Sulut adalah cerminan pertarungan kekuasaan lokal mendulang suara rakyat agar dapat menduduki singgasana.
“Jawabannya adalah satu term, yakni critical thinking. Memasuki dunia politik nanti dibutuhkan orang-orang yang justru berpikir kritis dengan kemandirian berpikir yang sangat mumpuni, karena pada saat mereka masuk dalam dunia politik tanpa kemampuan kritis ini mereka akan terbenam, mereka akan hanyut, dan kehilangan hilirisasi seharusnya dalam politik. Jadi poin yang paling penting adalah critical thinking,” jelas Dosen Filsafat Unika De La Sale Manado itu.
Dalam pertarungan kekuasaan yang akan berlangsung pada 27 November mendatang, kekritisan sangat penting diilhami oleh mahasiswa. Olehnya, secara filosofis harus memahami yang namanya “pemikiran”.
“Diambil dari sisi etimologisnya yakni criticos dalam bahasa Yunani. Dia berarti yang pertama memahami, mampu memilah, yang ketiga mengambil keputusan,” ujar Sir Valen, sapaan mahasiswa.
Sedangkan dari perspektif pemerintahan, Dekan Fisip Unsrat Manado Dr Ferry Daud Liando SIP MSi, menuturkan sebuah tantangan peradaban demokrasi. Pendidikan adalah peran sentral, bagaimana demokrasi tidak boleh dibelenggu oleh kepentingan elit kekuasaan.
“Peran pendidikan itu kan membangun peradaban, artinya peradaban itu adalah bagaimana membingkai demokrasi itu dengan hal-hal yang benar, hal-hal yang lebih tepat, dan hal-hal yang lebih bertanggung jawab. Kita lihat sekarang, dinamika demokrasi sekarang itu tantangannya luar biasa,” tuturnya.
Menurutnya, simbol demokrasi adalah rakyat. Tapi kemudian, bagaimana rakyat kerap dijadikan objek kepentingan untuk memuluskan agenda elit kekuasaan.
“Sulawesi sudah mulai dikapitalisasi oleh otak-otak tertentu. Sebuah objek yang kerap dimanfaatkan oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu,” ujar Liando.
Pdt Ruth K Wangkai MTh dalam ulasannya menanggapi pilkada Sulut melalui perspektif perempuan, mengungkapkan feminis kritis merupakan jawaban paling konkret bagi perempuan untuk terlibat langsung menghadapi pertarungan ajang kekuasaan.
Dari 15 kabupaten/kota di Sulut, partisipasi perempuan sangatlah minim. Hanya empat daerah yang mempunyai keterwakilan perempuan.
“Saya cermati dari daftar-daftar nama itu, tampaknya hanya Kota Tomohon, Kota Minahasa, lalu Kabupaten Talaud dan Sitaro yang mencalonkan calon-calon pemimpin mereka,” ungkap Pdt Ruth.
“Pemenuhan affirmative action untuk pemilihan legislatif, ya tentu suatu syukur. Perjuangan panjang gerakan perempuan untuk mengusung perempuan dalam keterwakilan di lembaga legislatif, tapi tidak ada persyaratan memang untuk mencalonkan diri lembaga eksekutif,” kuncinya.