MANADO, SULAWESION.COM – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Utara (Sulut), menyayangkan asumsi publik di platform media sosial yang menyebut proses rapat pleno rekapitulasi perolehan suara pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Hotel Swiss Bell, Kota Manado selama tiga hari, yakni Kamis-Sabtu (5-7/12/2024), tidak demokratis.
Pasalnya, hal ini berkaitan atas kejadian salah satu saksi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulut, Elly Engelbert Lasut (E2L)-Hanny Joost Pajouw (HJP), yakni Jootje Robert Rumondor (JRR) yang dikeluarkan dari lokasi rapat pleno rekapitulasi.
Apalagi pasca JRR dikeluarkan pihak keamanan KPU Sulut dari lokasi rapat pleno hilang jejak, tanpa kabar. Publik menuding pihak penyelenggara pemilu harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
Ketua KPU Sulut, Kenly Poluan akhirnya buka suara. Dirinya menjelaskan, pasca dikeluarkannya JRR dari lokasi rapat pleno rekapitulasi, itu sudah bukan lagi kewenangan mereka, sebab hal ini tidak sesuai substansi agenda saat itu.
“Di situasi yang terjadi di proses itu sejak awal, kemudian yang bersangkutan diminta keluar, setelah itu bukan tanggungjawab kewenangan kami. Selama tiga hari rekapitulasi, kami meyakini dan menilai yang kami lakukan itu sangat demokratis, tidak ada larangan penyampaian pendapat,” jelas Poluan saat konferensi pers di Kantor KPU Sulut, Senin (9/12/2024).
Di tempat yang sama, Anggota KPU Sulut, Meydi Tinangon mengatakan, pada proses rapat pleno rekapitulasi perolehan suara pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pihaknya telah menjalankannya sesuai mekanisme yang berlaku.
“Terkait dugaan saksi kosong dua kita yakin sudah lakukan sesuai dengan prosedur, bahwa kita mengacu pada tatib yang sudah dibacakan dan sudah disepakati oleh forum pleno, salah satu poin rapat pleno rekapitulasi adalah pimpinan rapat pleno bisa menertibkan peserta yang mengganggu jalannya proses,” kata Tinangon, selaku Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sulut itu.
Tinangon membeberkan, dikeluarkannya JRR dari lokasi rapat pleno akibat tidak menghargai tatib yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
Tinangon bilang, saat itu JRR dikeluarkan oleh satuan pengamanan KPU Sulut, yang disebut Jagat Saksana.
“Memang waktu itu ada pimpinan menganggap, sudah tidak menghargai apa yang disampaikan pimpinan rapat, sehingga kita mengeluarkan dari rapat pleno,” beber Tinangon.
“Dan yang mengeluarkan yang bersangkutan bukan pihak kepolisian, itu adalah aparat keamanan internal kpu yaitu teman-teman kita, staf yang bertugas sebagai satuan keamanan di internal KPU, jagat saksana,” bebernya lagi.
Kata Tinangon, pihaknya memberi kesempatan secara demokratis saat rapat pleno tersebut. Akan tetapi, jika kemudian saat berlangsungnya kegiatan ada yang tidak mematuhi tatib, pihaknya mengambil langkah yang tegas.
“Kita bukan menghalangi hak konstitusi dari saksi, kita memberikan kesempatan, kita mengambil langkah yang lebih tegas,” kuncinya.