MANADO, SULAWESION.COM – Perbatasan Indonesia, khusunya Provinsi Sulawesi Utara dengan Negara Filipina menjadi atensi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Rekam historis Sulawesi Utara yang mempunyai 3 kabupaten di daerah kepulauan dari total 15 kabupaten/kota saat ini, tidak lepas berdasarkan kultur budaya masa lampau dengan negara tetangganya yaitu Filipina.
Perekonomian di daerah perbatasan bukan sebatas transaksi melalui jalur perdagangan tradisional, akan tetapi hal ini telah dilakukan sejak turun temurun.
Meski begitu, wilayah teritorial antar dua negara harus diperhatikan berdasarkan urgensinya demi kemaslahatan masyarakat yang tinggal di pulau terluar perbatasan.
Melalui pembahasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Sulawesi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyeriusi pengawasan perdagangan tradisional di wilayah perbatasan.
ZEE merupakan suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan berdasarkan pada hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan- kebebasan negara lain.
Apalagi Indonesia memiliki ZEE yang terbesar ke-6 di dunia dengan luas total 6.159.032 km2 (2.378.016 sq mi). Indonesia telah mengklaim ZEE sejauh 200 mil laut (370 km; 230 mi) dari garis pantainya.
Hal ini terkuak melalui rapat koordinasi (rakor) yang digagas Kemenko Polhukam RI terkait Pengelolaan Perikanan di wilayah ZEEI Laut Sulawesi dan Industri Perikanan Bitung, serta Progress Report Rencana Pembangunan Border Crossing Station (BCS) di Pulau Marore dan Pulau Miangas, yang diselenggarakan di Lantai 6 Kantor Gubernur Sulawesi Utara Jl 17 Agustus Kota Manado, Kamis (25/7/2024).
“Ini penting untuk mengawasi lalu lintas manusia dan barang yang ada di perbatasan, karena masyarakat perbatasan kita mempunyai hubungan tradisional dengan masyarakat di negara perbatasan kita Filipina,” jelas Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandouw saat diwawancarai awak media.
Potensi besar di sektor kelautan dan perikanan yang dimiliki Sulawesi Utara menjadikan Kota Bitung sebagai pusat industri perikanan di kawasan timur Indonesia.
Menurut Kandouw pencanangan BCS di dua pulau terluar yakni Marore dan Miangas telah menjadi pembahasan, sekaligus merencanakan pembangunan yang berkelanjutan, serta pengoptimalan wilayah perbatasan.
“Kita juga sebagai daerah perbatasan sudah lama merencanakan pembangunan BCS di Pulau Marore dan Miangas,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kemenko Polhukam RI Rudy Syamsir menjelaskan kegiatan itu bertujuan untuk meninjau tentang perikanan dan perbatasan khususnya di wilayah Sulawesi Utara.
“Ini ada kaitannya dengan kedaulatan, keamanan, kesejahteraan masyarakat khususnya di Sulawesi Utara ini,” jelasnya.
Syamsir menuturkan rakor tersebut dihadiri stakeholder terkait baik pusat dan daerah guna mendapatkan data dan informasi ter-update.
“Data dan informasi yang diperoleh dalam rakor ini akan menjadi bahan referensi untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat untuk supaya lebih diperhatikan kembali,” tuturnya.