MANADO, SULAWESION.COM – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengkritisi penyelenggara pemilu, terkait merosotnya angka partisipasi masyarakat menggunakan hak pilihnya di pilkada 2024.
Sekretaris Umum HMI Badan Koordinasi Sulawesi Utara Gorontalo (Badko Sulut-Go), Radinal Muhdar menilai, fenomena itu bukan hanya terjadi di Sulut, tetapi mencerminkan masalah nasional yang serius.
Menurutnya, tingginya angka golput (golongan putih; diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik) menunjukkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mampu memaksimalkan dana yang dihibahkan untuk meningkatkan kesadaran pemilih.
“Angka golput yang tinggi ini adalah alarm, bahwa sosialisasi dan pendidikan politik oleh KPU belum berjalan efektif. Padahal, anggaran besar telah dihibahkan. Ini harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPU,” tegas Radinal pada media ini, Senin (2/12/2024).
Ia menyebut, data KPU Sulut yang menunjukkan tingkat partisipasi politik di pilkada 2024 hanya 74,9 persen, jauh dibawah target nasional sebesar 82 persen.
Dari 1.950.484 Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Sulut yang terbagi dari 15 kabupaten/kota, hanya 1.462.133 suara sah yang tercatat, meninggalkan 488.351 pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mereka. Dengan partisipasi hanya 74,9 persen, ia mempertanyakan legitimasi hasil pilkada 2024.
“Bagaimana kita bisa yakin bahwa pemenang pilkada benar-benar representasi suara mayoritas rakyat, jika lebih dari 25 persen pemilih tidak menggunakan haknya? Ini mencederai demokrasi,” sebut Radinal.
Berdasarkan data yang ditampilkan hasil scraping website resmi KPU, perolehan suara untuk tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulut, yakni Yulius Selvanus-Johanes Victor Mailangkay (JVM), Elly Engelbert Lasut (E2L)-Hanny Joost Pajouw (HJP), dan Steven OE Kandouw (SK)-Letjen TNI (Purn) A Denny D Tuejeh (DT) memiliki total 1.462.133 atau 74,9 persen.
Radinal membandingkan angka ini dengan pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19, tetapi berhasil mencatatkan tingkat partisipasi masyarakat di angka 77,7 persen.
“Ini ironi, saat pandemi partisipasi lebih tinggi. Bahkan pada pemilu presiden beberapa bulan lalu, tingkat partisipasi di Sulut mencapai 82 persen. Kenapa bisa turun drastis di pilkada kali ini?,” bebernya.
Dia menyampaikan pengalamannya di TPS 06 Titiwungen Selatan, Kota Manado, tempat ia mencoblos. Radinal menuturkan, hampir setengah dari jumlah pemilih yang terdaftar, tidak menggunakan hak pilih mereka.
“Ini menunjukkan betapa lemahnya daya tarik pilkada terhadap masyarakat, KPU harus merefleksikan kenapa minat masyarakat merosot tajam,” tuturnya.
Sebagai solusi, ia mendesak KPU Sulut untuk memperbaiki strategi penggunaan anggaran dengan memprioritaskan sosialisasi yang lebih tepat sasaran dan efektif. Ia menyarankan agar penyelenggara mempelajari kesuksesan pemilu presiden yang baru saja berlalu.
“KPU perlu mengevaluasi apa yang membuat partisipasi tinggi pada pemilu presiden dan menerapkan strategi serupa di pilkada. Pemilu adalah sarana rakyat menentukan masa depan mereka, jika ini diabaikan demokrasi kita akan terus tergerus,” desaknya.
“Saya berharap kritik ini menjadi momentum perbaikan bagi KPU khususnya KPU Sulut dan semua pemangku kepentingan, untuk memastikan pilkada di masa depan lebih inklusif dan representatif,” kuncinya.
(***)