MANADO, SULAWESION.COM – Koalisi Masyarakat Sipil Save Sangihe Island (SSI) mempertanyakan pernyataan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba ESDM pada CNN Indonesia, 10 September 2023 dan rilis media, 9 September 2023 dari Baru Gold (PT Tambang Mas Sangihe/TMS).
Dalam siaran pers SSI yang diterima media ini, Rabu (13/9/2023) malam, pertanyaan itu mengarah pada judul “Baru Gold finalizes new application with Indonesia for Sangihe Project” (Baru Gold telah menyelesaikan aplikasi baru dengan Indonesia untuk proyek di Sangihe diterbitkan).
Hal ini kemudian menimbulkan dua pertanyaan SSI tentang kebijakan menteri ESDM yang akan menerbitkan izin baru bagi PT Tambang Mas Sangihe (TMS), yaitu:
Pertama, apakah keabsahan kontrak yang melanggar undang undang dapat diakui oleh hukum kita?
Kedua, apakah rakyat dapat membenarkan ‘kontrak’ yang dibuat pemerintah dengan pihak ketiga secara melanggar undang undang?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kami coba elaborasi jawabannya melalui pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 140/B/2022/PT.TUN.Jkt tanggal 31 Agustus 2022 yang dikuatkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 650 K/TUN/2022 tanggal 12 Januari 2023, (terlampir); yang pada pokoknya menyatakan:
– Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik khususnya bagi pejabat pemerintahan, Undang Undang tentang Administrasi Pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;
– Ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F dan Pasal 28 I ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, warga masyarakat tidak menjadi obyek melainkan subyek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, selanjutnya dalam rangka memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang semula sebagai obyek menjadi subyek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat;
– Undang Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan warga masyarakat. Oleh karena sebagai negara hukum yang demokratis;
Pada bagian selanjutnya, pertimbangan hukum putusan tersebut juga menyatakan:
1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam konsideran Menimbang huruf a sudah jelas disebutkan bahwa mineral dan batubara yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sumber daya dan kekayaan alam yang tidak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki peran penting dan memenuhi hajat orang banyak dikuasai oleh negara untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan;
2. Obyek sengketa berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang memiliki luas 736.98 Kilometer Persegi yaitu Kepulauan Sangihe adalah masuk dalam katagori Kepulauan Kecil;
3. Pasal 26 A, angka 1: Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitanya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapatkan izin dari Menteri (Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan), Menteri Kelautan dan Perikanan tidak menerbitkan rekomendasi ataupun izin, persetujuan untuk memberikan konsesi kepada PT Tambang Mas Sangihe untuk melakukan usaha pertambangan di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe;
4. Menteri ESDM harusnya memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Kepulauan Sangihe, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan memperhatikan ketentuan dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K);
5. Majelis Hakim tidak menemukan adanya bukti terlibatnya masyarakat dan kearifan lokal dalam menyusun AMDAL, dan setelah berlakunya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Karya, tidak terdapat bukti bahwa masyarakat yang terdampak langsung dan masyarakat adat tradisional dilibatkan dalam penyusun AMDAL tersebut;
Pertimbangan-pertimbangan hukum putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dikaitkan dengan ketentuan pasal 35 huruf k UU 1/2014 tentang PWP3K yang secara eksplisit melarang setiap orang menambang mineral di pulau kecil dan Pasal 134 ayat (2) Undang Undang U Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (PMB) yang berbunyi: “Kegiatan Usaha Pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Maka gagasan, ide atau rencana Plt Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk menerbitkan lagi Peningkatan Kontrak Karya PT TMS di Pulau Sangihe haruslah dituduh sebagai tindakan menipu hukum, gagal paham dan berpikir seperti dialah hukum, atau telah menempatkan kontrak karya levelnya di atas hukum Indonesia, yang patut dielaborasi lebih jauh.
Untuk menjernihkan hal tersebut, SSI menyatakan bahwa:
Sudah sangat jelas larangan hukum mengenai usaha pertambangan pada tempat yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 134 ayat (2) Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PMB) yang memang dilarang oleh pasal 35 huruf k UU 1/2014 tentang PWP3K. Selain itu tak ada pula izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk konsesi pertambangan di Kepulauan Sangihe; Sehingga jelaslah, frasa hukum tentang “larangan usaha pertambangan pada tempat yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan” telah final dan sempurna yakni usaha pertambangan di pulau Kepulauan Sangihe tidak diperkenankan oleh hukum!
Yang dibatalkan oleh pengadilan adalah Peningkatan Kontrak Karya menjadi Operasi Produksi, yang mengandung makna bahwa kontrak karya tersebut sudah ditingkatkan atau kontrak karya asal sudah berakhir oleh peningkatan statusnya, antara lain tidak lagi melakukan eksplorasi tapi sudah bisa langsung mengeruk emas dan memprosesnya, luas konsesinya diperkecil dan berbagai syarat agar operasi produksi dapat dilaksanakan.
Persepsi keliru Menteri ESDM atau kondisi gagal pahamnya adalah kontrak karya PT TMS masih berlaku dan dapat ditingkatkan lagi ke tahap Operasi Produksi (sumber: CNN Indonesia 10 September 2023), seperti menggunakan mesin-waktu memundurkan tahapan yang dilakukannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Menteri ESDM menganut paham udang-isme, jalannya mundur-mundur, spekulatif dan tidak dapat dipercaya atau tak punya otak.
Sebagaimana pertimbangan hukum putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu “Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, warga masyarakat tidak menjadi obyek melainkan subyek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan, selanjutnya dalam rangka memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang semula sebagai obyek menjadi subyek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat” dikaitkan dengan tidak disesuaikannya kontrak karya PT TMS dengan Undang Undang sejak tahun 2009 sebagaimana perintah Pasal 169 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PMB dan menghidupkannya kembali dari penguburan oleh putusan pengadilan tanpa adanya persetujuan masyarakat yang terkena dampak, dihubungkan pula dengan “tidak adanya bukti terlibatnya masyarakat dan kearifan lokal dalam menyusun AMDAL, dan tidak terdapat bukti bahwa masyarakat yang terdampak langsung dan masyarakat adat tradisionil dilibatkan dalam penyusun AMDAL”, maka oleh Pasal 1320 KUH Perdata kontrak karya PT TMS dinyatakan sebagai perjanjian tidak sah karena mengandung sebab yang tidak halal;
Bertitik tolak pada kekuatan konstitusi Negara Republik Indonesia Undang Undang Dasar 1945 tentang rakyat Sangihe bukanlah objek dalam pengelolaan sumber daya alam tetapi merupakan subjek, dengan ini kami tegas menolak rencana Kementerian ESDM untuk menghidupkan kembali almarhum kontrak karya PT TMS di Sangihe. ***