Bawaslu Sulut Gelar Rakor Penguatan Kelembagaan kepada Media Masa, Ini yang Dibahas

Sesi diskusi pada Rakor Penguatan Kelembagaan Bawaslu Sulut kepada Media Massa Tahun 2023 di The Sentra Hotel Manado,  Minggu (19/2). (Foto: Adi Sururama)

 

 

Bacaan Lainnya

MINUT, SULAWESION.COM – Anggota Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) Republik Indonesia (RI) Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Lolly Suhenty SSos I MH membuka secara langsung Rapat Koordinasi atau Rakor bersama media massa di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Minggu (19/2/2023).

Bertempat di The Sentra Hotel Manado, Jln. Soekarno Maumbi, Kec Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara, Rakor tersebut mengusung tema “Penguatan Kelembagaan Bawaslu Sulut kepada Media Massa Tahun 2023” dan diikuti oleh kurang lebih 120 jurnalis dari berbagai media massa baik online dan elektronik.

Sebelum agenda pembukaan berlangsung, Bawaslu Sulut menggelar dialog publik dengan menghadirkan tiga narasumber dari organisasi konstituen Dewan Pers dan seorang pegiat media sosial di antaranya Fransiskus Talokon selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Manado, Amanda Komaling selaku Koordinator Wilayah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulut, Drs Voucke Lontaan selaku Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulut, dan Ronny Buol selaku Pegiat Media Sosial.

Ketua PWI Sulut Drs Voucke Lontaan membawa materi terkait Hoax. Menurut Lontaan, Jurnalis harus tetap berpegang teguh pada Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai fondasi daripada empat pilar demokrasi yaitu Lembaga Legislatif, Yudikatif, Eksekutif dan Pers itu sendiri.

Fungsi pers menurut Lontaan, sudah jelas tertera pada Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 3. Kemudian Kewajiban Pers pada Pasal 5 dan Peranan Pers pada Pasal 6.

“Banyak berita yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik, apalagi pemberitaan yang menyerang salah satu pihak. Pemberitaan yang terus menerus hanya kepada satu pihak, sedangkan pihak lain tidak diberitakan. Juga pembunuhan karakter, seharusnya jurnalis mengedepankan pemberitaan yang berimbang,” ungkap Lontaan.

Lontaan membeberkan, menurut data Kominfo terdapat 1.324 kasus hoax pada bulan Agustus Tahun 2018 sampai Maret 2019.

Selanjutnya Fransiskus Talokon selaku Ketua AJI Manado menjabarkan terkait tiga poin penting kode etik jurnalistik yang mengacu pada Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Pertama independen atau tidak memihak, kedua kebenaran dan fakta yaitu menjaga kepercayaan publik dan mengurangi dampak yang berakibat pada kondisi masyarakat,” jabar Talokon.

Menurut Talokon, presentase kasus hoax kerap naik menjelang Pemilu, baik pemilihan presiden, pilkada atau pemilihan legislatif.

“Data Mafindo tahun 2019 terdapat 1.221 kasus hoax, tahun 2020 sebanyak 2.298 (per bulan 191, per hari 6 sampai 7 kasus_RED), tahun 2021 sebanyak 1.888 (per bulan 157, per hari 5 sampai 6 kasus_RED),” ungkap Talokon.

“Sedangkan data Kominfo menyebutkan, rata-rata per bulan ada 258 hoax pada tahun 2019, naik saat momentum Pilpres,” sambungnya.

Talokon menekankan, perlunya instrumen-instrumen untuk bisa mencegah potensi penyebarluasan informasi palsu atau hoax.

Sementara itu, Ronny Buol selaku Pegiat Media Sosial mengungkapkan tantangan konkrit media massa saat ini adalah media sosial.

Buol katakan, persoalan ini mengacu pada data Mafindo terhadap presentase pembaca media massa di platform media sosial.

“Data Mafindo sepanjang tahun 2017 sampai 2022 dari 287 juta penduduk di Indonesia, 77 Persennya merupakan pengguna media sosial,” ungkap Buol.

Buol katakan, kita harus mengubah paradigma baru. Ia pun memberikan tiga tawaran kepada Bawaslu untuk bagaimana memperkuat kelembagaan di tengah gempurang penyebaran informasi hoax.

“Pertama kolaborasi Prebunking menjelang Pemilu 2024, kedua kolaborasi monitoring isu, Debunking dan desiminasi, dan ketiga edukasi membangun resilensi publik,” katanya.

Narasumber ke empat yaitu Amanda komaling selaku Koordinator Wilayah Sulut IJTI menuturkan, untuk mengawal proses Pemilu di tahun 2024 jurnalis tetap mengedepankan kode etik jurnalistik.

“Ini bukan cerita baru. Di saat menjelang Pemilu tumbuh subur media dan akan meraup keuntungan dari segi bisnis,” tutur Komaling.

“Etika-etika itu harus didengungkan, meskipun bagaimana seorang jurnalis konvensional atau tradisional beralih di era yang baru ini,” sambungnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *