JAKARTA,SULAWESION – Perkembangan jasa keuangan digital kian meningkat, seiring transaksi digital, sehingga butuh literasi keamanan digital keuangan demi peduli lindungi terhadap data pribadi.
Terkait hal tersebut, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) kerjasama dengan Bank Nasional Indonesia (BNI) sukses menggelar workshop pertama yang menghadirkan 100 jurnalis dari Sabang sampai Merauke.
Dibuka, oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Adi Prasetya, ia mengutarakan peningkatan transaksi digital melonjak tinggi.
“Bahkan membeli cabai saja hanya dengan menggunakan handphone, begitu mudahnya transaksi digital,” kata Adi Prasetya, dikutip mediatotabuan.co, dari Youtube AMSI, Kamis (15/09/2022).
Dijelaskan Adi Prasetya, bila Bank Indonesia mencatat pertumbuhan transaksi digital terus meningkat, pada tahun 2021 dari hampir Rp40.000 triliun, menurut prediksi bisa mencapai Rp51.000 triliun.
Namun, digitalisasi transaksi perbankan maupun transaksi lainnya melahirkan satu kecemasan baru, karena terkait dengan adanya cyber crime di perbankan atau digital keuangan.
“Apalagi di Indonesiamasih sangat rawan dari ancaman kejahatan cyber, termasuk di dunia perbankan,” tambah Adi, saat daring yang digelar AMSI bersama BNI pada, Jumat (19/08/2022) lalu.
Sedangkan pemaparan Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Horas V.M Tarihoran, katanya Indonesia memiliki 55 juta pekerja profesional dan diperkirakan meningkat menjadi 113 juta pada 2030 mendatang.
Maka pengguna internet di Indonesia tumbuh 52,68 persen setiap tahun, menjadi 202 juta orang per Januari 2021. Data OJK mencatatkan bahwa tingkat inklusi keuangan Indonesia baru mencapai level 76,9 persen pada 2019.
Sedangkan tingkat literasi keuangan masih relatif rendah di posisi 38,03 persen. Bahkan, indeks literasi digital masih 3,49 persen.
Masyarakat Indonesia sangat terpapar dengan dunia digital, karena ada 202 juta pengguna internet dari sekitar 260 juta penduduk.
“Dari 90 persen pelaku UMKM yang ada di negara kita itu baru sekitar 20% yang memiliki akses ke layanan keuangan,” kata Horas.
Sementara, inovasi teknologi sangat dinamis. Ia mencontoh belanja konvensional sudah tidak laku lagi, sekarang semuanya sudah online bahkan dari online pun perubahannya sangat cepat sekali.
“Perilaku konsumen yang semuanya ingin serba mudah, serba cepat dan serba nyaman. Ini memang kelihatannya bagus tapi ini kita lihat resiko. Dunia bisnis menyikapi di era digital tentu diperlukan keamanan cyber,” tambahnya.
Sebab banyaknya pemanfaatkan digitalisasi dengan menyalahgunakan data. Kalau OJK sebagai regulator tentu menyikapi dengan regulasi dan pengawasan yang ketat.
“Aspek paling penting dari era digital adalah aspek perlindungan konsumen,” katanya lagi.
Demikian juga disisi teknologi, perilaku konsumen yang berubah juga akan menuntut inovasi yang semakin cepat, ini akan menimbulkan resiko offroad dalam penyalahgunaan data, berujung pada ketidakpercayaan pasar dan penurunan inklusi.
Tidak sadar dengan keamanan, atau melanggar aturan-aturan atau tatacara digital, terutama bertransaksi di dunia keuangan.
Dikatakan geografis Indonesia sangat bervariasi, 17.000 pulau dan ada 21 provinsi. Jadi survey indek literasi masih di bawah rata-rata nasional, tingkat pendidikan tingkat perekonomian itu juga masih bervariasi.
Pun, ada perbedaan literasi di pedesaan dan perkotaan termasuk akses internet yang belum merata.
Jadi diakui, kemampuan OJK dalam melakukan kegiatan literasi juga sangat terbatas, baik dan sisi SDM, sisi kemampuan anggaran dan sebagainya.
Sehingga kegiatan literasi tidak mungkin dilakukan sendiri oleh OJK, maka harus bersinergi.
Jadi perlu meningkatkan keamanan, dari aspek teknologi, perlu security melindungi masyarakat dari penggunaan teknologi yang berpotensi meningkatkan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Sementara Pemimpin Divisi Manajemen Risiko BNI, Rayendra Minarsa Goenawan menambahkan, saat ini BNI telah bersinergi dengan OJK maupun Bank Indonesia dalam menerapkan perlindungan konsumen.
Bagi Rayendra, literasi merupakan garda utama dalam perlindungan data konsumen di BNI, saat penyampaian tema penanganan dan jaminan bagi nasabah BNI, korban akibat kelalaian perlindungan data pribadi.
Katanya, perlindungan inovasi digital, bukan hanya oleh instansi jasa keuangan, tapi perjuangan pertama justru dari pemilik data itu sendiri. Diakuinya bahwa kesulitan penjagaan atau perlindungan tidak hanya tergantung dari satu pihak (satu entitas).
Dijelaskan, sebelum digitalisasi transaksi melalui handphone, kebanyakan kartu bisnis yang primadona, karena bisnis kartu memberikan kemudahan.
Tapi saat ini bahanya social engineering, cara yang lebih halus tetapi impact itu sangat luar biasa, misalnya skimming karena mengintai dan menduplikat informasi kita.
Karena sosial enginerring tidak perlu kartu, bisa langsung mengambil begitu saja. Dan modus-modus skiming yang sering sekali terjadinya, karena banyak menggunakan ATM untuk melakukan pelayanan, paling mudah untuk melakukan atau menduplikasikan informasi-informasi dalam kartu.
Walapun pihak bank pasti melakukan perlindungan dengan CCTV, juga alat anti skimmer, tapi pengguna juga harus hati-hati dengan aset pribadi.
Karena ada juga semakin canggih dengan menggunakan reuter, atau hidden kamera yang disematkan di dalam ATM, untuk menangkap nomor PIN, jadi seringlah mengganti pin, saat menggunakan ATM.
Dan social engineering, modus ini sekarang lagi marak sekali. Contoh kecil, kasus ada melepon ada anaknya sedang sakit, atau Mama minta pulsa, atau ditelpon karena keluarga mengalami kejadian, itu bentuk usaha menipu yang dilakukan oleh social engineering.
“Cara memanipulasi kesadaran. Karena target jalin komunikasi untuk membentuk relasi, selanjutnya bisa eksploitasi, contoh dengan anda mendapatkan hadiah uang tunai dua miliar, tinggal klik aja disini, kalau kita klik maka data kita sudah tidak aman,” ungkapnya.
Ia pun mengimbau jangan sampai aset data pribadi kita bocor, karena jangan sampai sebuah data bisa dikolaborasikan dengan data-data yang lain, misalnya data-data yang disajikan di sosial media, data-data yang juga mungkin dipublikasikan seperti KTP.
Dan kalau handphon dan data perbadi sudah disusupi, apa yang maka bisa saja data kita digunakan untuk transaksi.
Nah, untuk BNI sudah ada perlindungan nasabah, BNI menyiapkan pengaduan di call center 1500046, sampai juga ke cabang-cabang, bisa dihubungi melalui email dan juga beberapa websitei.
BNI akan selalu mendengarkan keluhan-keluhandan, selalu merespon dan juga menyelesaikan pengaduan. Komitmen di BNI ada unit khusus pemantauan, juga melaporkan dan juga melakukan follow up dari call center, ada juga salah satu tim investigasi terus bergerak bahkan di hari weekend.
“Diwaktu lebaran kami juga terus bergerak, untuk investigasi mendukung dan juga mengamankan nasabah-nasabah yang kami menaruh kepercayaan kepada kami,” katanya.
Ia menyarankan tidak menggunakan wifi public untuk transaksi digital keuangan, begitupun update data dilakukan setiap kali ada perubahan, dan langsung diinformasikan kepada bank.
Ia mengingatkan bila tidak ada pihak bank menanyakan password dan PIN, kalua itu ada maka dipastikan bukan pihak bank.
Pada giliran Guru Besar Komputer Sains Universitas Sampoerna, Profesor Teddy Mantoro, menyampaikan tren-tren kejahatan siber di berbagai negara.
Makanya kata Teddy, perlunya antisipasi bagi regulator, dunia industri jasa keuangan, maupun masyarakat, karena serangan siber bisa saja terjadi kapanpun.
Karena saat ini kejahatan ciber bias dibagi menjadi dua yaitu pertama butuhkan klik dari korban untuk kejatahan siber, dan kedua serangan tanpa klik.
“Nah sedangkan tanpa klik ini disebut ZeroDay Malware, serangan ini sangat berbahaya dan susah dideteksi,” ungkap Teddy.
Kenapa demikian, karena zeroday malware ini tidak membutuhkan klik apapun dari yang menjadi target pelaku. Karena pelaku hanya bisa menginstal malware, hanya dengan pelaku mengetahui nomor handphone kita. Ini sebelumnya dikenal dengan Pegasus, yang saat ini diketahui nama Zeus.
Demi mengantisipasi hal tersebut, maka gunakan wifi sendiri dan jika memungkinkan pakai jaringan terenkripsi atau VPN, atau juga jauhi alat komunikasi digital saat sedang emosi.
“Pakai password yang kuat dan berbeda untuk setiap aplikasi dan alat komunikasi digital dan aktifkan pengaturan keamanan pribadi,” katanya.
Selain itu kata Teddy, pentingnya peran media menginformasikan literasi digital. Iapun mengkritisi media jangan kebanyakan iklan terutama iklan pop up.
Sementara pada sesi terakhirn, Citra Dyah Prastuti Pimpred KBR.id, mengatakan peran media dan masyarakat yakni cyber security yang rentan bisa membawa masalah lain dan resiko yang meningkat.
“Literasi secara umum meningkat tapi masih rendah,” katanya.
Yang bisa dilakukan media adalah edukasi literasi, mengedukasi dan literasi diri sendiri untuk menyampaikan ke publik, agar paham step by stepnya.
Bahwa perlindungan konsumen penting karena bisa terjadi kepada siapa saja. Perlindungan data- melindungi data apa saja yang rentan dan penting untuk dilindungi. Kejatahan di platform digital-selalu berubah, penting untuk selalu update informasi. Membangun awerness public-soal kasus terbaru dan bagaimana cara menyelesaikannya. Menggunakan Bahasa dan istilah yang mudah disesuaikan dengan target audiens dari media masing-masing.
Prastuti menuturkan bila data pribadi dalam dunia digital keuangan menjadi salah satu ancaman. Jadi jurnalis harus belajar dan memahami dulu, sebelum membuat liputan untuk edukasi dan literasi kepada public.
Informasi bahwa workshop literasi keuangan digital perbankan kerjasama AMS dan BNI dibuka oleh Direktur Eksekutif AMSI, Adi Prasetya.
Sumber: Youtube AMSI
Penulis: Supardi Bado