ACEH,SULAWESION.COM– 2023, saya berkesempatan ke Aceh. Memulai perjalanan dari Bandara Djalaludin Gorontalo pada Kamis 7 Desember 2023 dengan menggunakan pesawat Batik Air tiba di Bandara Internasional Soekarno–Hatta pada pukul 10.35 WIB.
Di Bandara Internasional Soekarno–Hatta saya bertemu dua sahabat yang akan melalukan perjalanan ke Aceh. Satu dari Manado. Satu merupakan panitia yang akan mengarahkan perjalanan kami ke Aceh.
Kami ke Aceh melalui Sumatera Utara. Dari Bandara Internasional Soekarno–Hatta kami menggunakan pesawat Garuda ke Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang. Tiba pada pukul 17.13 WIB. Dari sinilah kami memulai perjalanan ke Aceh melalui jalur darat trans Sumatera.
Sepanjang perjalanan ke Aceh kami menikmati jalan Sumatera yang terkenal berkelok. Seru. Banyak pengalaman walau berjalan pada malam hari.
Hampir 12 jam perjalanan kami sebelum tiba di Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Tiba pada Jumat 8 Desember 2023, pukul 04.00 dinihari. Istrihat sejenak di Kota ini sebelum memulai perjalanan ke Aceh Selatan.
Perjalanan dari Kota Subulussalam ke Aceh Selatan memakan waktu sekitar empat jam. Beberapa pemandangan perkebunan sawit terlihat. Hingga kami melewati desa yang terkena dampak banjir bandang.
Tiba di Aceh Selatan, kami bertemu dengan beberapa rekan jurnalis yang juga memiliki agenda yang sama dengan kami. Yaitu meliput, belajar dengan masyarakat Desa Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh yang memiliki cara tersendiri dalam menjaga alam termasuk satwa liar.
Sebelum memulai kegiatan, kami sholat Jumat di salah satu Masjid yang ada di Aceh Selatan, Kecamatan Tapaktuan.
Di Desa Panton Luas kami bertemu Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Rimeung Aulia, mereka menjaga habitat hewan, baik darat, udara maupun air. Baik dilindungi dan hewan tidak dilindungi.
Melalui peraturan desa dan hukum adat kebijakan ini mampu mencegah kerusakan hutan dan perburuan hewan liar.
Disini kami banyak berdiskusi, disuguhkan jagung rebus, kelapa muda. Tentu tidak terlewatkan kopi Aceh.
Kami bertemu Kepala desa Panton Luas Abu Hanafiah, ia mengatakan Panton Luas adalah desa terakhir di Kecamatan Aceh Selatan dan wilayah ini berada di pinggir hutan.
Menurutnya desa ini ada 108 Kepala keluarga dan pekerjaan mereka merupakan petani.
Hanafiah menambahkan, konflik dengan satwa liar didesanya cukup tinggi. Hal ini dikarenakan wilayahnya masuk lintasan harimau.
“Sehingga dengan hal ini, maka dibentuklah KSM Rimeung Aulia agar konflik satwa liar dengan masyarakat bisa dicegah,”ujarnya Jumat 8 Desember 2023.
Rimeung aulia sendiri berdiri sejak tahun 14 November 2017 dengan bidang kegiatan konservasi harimau.
KSM Rimeung Aulia beranggotakan 60 warga Panton Luas para pemuda dan tokoh masyarakat. Panton luas sendiri memiliki penduduk 529 jiwa dengan 108 kepala keluarga (KK).
Sementara itu, sekretaris KSM Rimeung Aulia, Yan Feriyal mengatakan, masyarakat di desa Panton Luas sudah lama hidup berdampingan dengan hewan satwa liar terutama harimau.
Yan menjelaskan dengan adanya Rimeung Aulia kesadaran masyarakat terkait bagaimana hidup berdampingan dengan satwa liar sehingga mampu menjaga ekosistem keberadaan satwa liar.
KSM Rimeung Aulia juga diyakini masyarakat sebagai edukasi terkait tanda-tanda keberadaan harimau serta upaya pencegahan terjadinya interaksi negatif.
“Mitigasi konflik satwa liar bagaimana caranya anggota kelompok swadaya ini memberi tahu kepada masyarakat ini pantangnya, kebiasaan harimau dan lain-lain,” katanya.
Dirinya menjelaskan ada beberapa pertanda yang diyakini masyarakat keberadaan harimau di sekitar kampung. Seperti membawa bekas tapak kaki, cakaran harimau di atas tanah, hingga pertanda dalam bentuk lainnya.
Yan bercerita sejak dulu leluhur mereka berkawan dengan satwa liar. Saling menghormati. Beberapa tahun lalu desa mereka sempat terkena bencana alam.
Dari sini mereka belajar dan mengakui jika ada kesalahan dari mereka sebagai manusia. Dimana terkikisnya adat.
“Sehingga tradisi itu jangan ditinggalkan. Dan tetap menerima modernisasi,”ujarnya.
Wakil ketua KSM Rimeung Aulia, Zul mengatakan mereka sejauh ini bisa tau kapan harimau lewat. Di desa mereka juga saat ini sudah ada sanksi adat bagi yang melanggar terkait merusak lingkungan hidup.
“Sehingga dengan mencegah kejadian bencana alam kami memperkenalkan kembali adat istiadat ke generasi muda. Salah satunya dengan menonton film,”ungkapnya.
Senada dengan Yan, Ketua KSM Rimeung Aulia, Masrita berbagi cerita, dulu, menurutnya salah satu yang memicu terjadinya interaksi negatif dengan satwa liar karena adanya tradisi atau kearifan lokal yang mulai ditinggalkan dari masyarakat.
Ada pantangan-pantangan tertentu yang mulai tidak dilakukan lagi ketika mereka masuk ke dalam hutan.
Ada juga sekelompok orang yang mulai menebang pohon dan membuka lahan baru di hutan yang tak jauh dari desa tersebut.
Musir Riswan warga Panton Luas menambahkan dulu wilayah ini terkenal dengan tanaman Nilam. Saat itu hutan dibuka untuk Nilam. Pada tahun 2003 harga Nilam menjanjikan.
“Satu kilo bisa mencapai Rp1 juta untuk harga minyak Nilam. Dengan harga tersebut, banyak warga dari desa lain datang menanam nilam,”ujarnya.
Hanya saja hal itu tidak berlangsung lama. Saat banjir bandang melanda desa ini. Dari sini mereka belajar dan dibuatlah peraturan desa bagaimana menjaga lingkungan hidup di desa Panton Luas.