MANADO, SULAWESION.COM – Melawan kaki pembangunan infrastruktur atas nama pertumbuhan ekonomi. Proyek ambisius pemerintah bercokol di ketiak investor.
Madi (39), tak menyangka kondisi yang pernah ia alami di tahun 2011 terulang kembali. Reklamasi, ladang cuan negara yang dibangun di atas penderitaan rakyat.
Mempertaruhkan nyawa di tengah laut, berteman gelombang, badai yang ganas, tak menyurutkan tekad Madi merampas takdir Tuhan menghidupi keluarga.
70 meter dari bibir pantai Kelurahan Bitung-Karangria, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Rumah berdinding tripleks saksi bisu Madi kali pertama menerawang niskala, mengeja mimpi, lahir dari rahim sepasang manusia asal Siau-Makassar.
Dedengkot pemikir stoik yang hidup di abad ke-1 dan ke-2 masehi seperti Seneca, Nero, Epictetus yang seorang mantan budak dan Marcus Aurelius sang Kaisar Roma, sepertinya menaburkan benih kesederhanaan hidup sampai ke Indonesia. Madi, ibarat reinkarnasi pikiran seorang stoa.
Sore itu, Kamis (16/5/2024), Madi tengah asyik merangkai alat pancing. Tude (kembung), ikan incaran yang kerap disulap rupiah mengasapi dapur.
Nelayan tradisional seperti Madi, puluhan tahun tumbuh dilumuri asinnya laut. Sejak sekolah dasar (sd) dirinya melalangbuana di samudera bersama sang ayah yang kini tua renta. Ibunya telah berpulang ke pangkuan semesta beberapa tahun silam.
Di era rezim Soeharto, pendidikan bak barang mahal yang sulit dijangkau kalangan ekonomi ke bawah. Kesenjangan dramatis antara darah biru dan rakyat jelata, memaksa Madi putus sekolah. Mimpinya dikubur di pasir teluk Manado tempo itu.
“Sejak sd ikut melaut bersama orang tua dengan perahu londe (perahu tradisional dari Sulawesi Utara). Pendidikan sd, pernah masuk smp tapi orang tua tidak mampu. Dulu kan tidak ada sekolah gratis, biar negeri tidak ada yang gratis,” ingatnya.
Dikarunia tiga buah hati, hasil persilangan kenikmatan duniawi. Madi menggali kembali mimpinya yang pernah ia kubur di pasir teluk Manado ditemani tambatan hati, Ceni (37). Sepasang yang tak pernah mengutuk ketetapan Tuhan.
Melaut bukan perkara mudah. Meski telah digeluti puluhan tahun, pendapatan Madi sehari-sehari tidak menentu. Cuaca buruk adalah tantangan, tak ada hujan dan badai pun bukan berarti ikan melimpah. Ikhtiar, jalan satu-satunya berharap pada Sang Pemberi Rejeki.
Sewaktu laut tak bersahabat, Madi banting stir. Beralih menjadi kuli bangunan bersama rekan-rekannya. Tak ada pilihan lain, sebab tanggung jawab dipundak kerap mengganggu kantuk pria murah senyum itu.
“Kalau cuaca buruk pasti tidak melaut. Laeng kali teman ja pangge ba (lain kali dipanggil teman menjadi) buruh bangunan,” urai Madi sembari mengaitkan beberapa kail ke senar.
“Melaut malam dari jam lima sore, balik subuh. Kalau Melaut siang berangkat subuh balik sore,” sambungnya.
13 tahun lalu, proyek reklamasi menggusur tambatan perahu di sepanjang Manado Utara. Eksistensi nelayan tradisional menghadapi penggerusan modernisasi tata kelola perkotaan. Ekosistem pesisir disulap infrastruktur, tak heran jika musim penghujan disertai gelombang pasang memporak-porandakan kawasan tersebut.
Seharusnya, selain judul “Isi Rimba tak ada Tempat Berpijak Lagi”, Iwan Fals mencipta lagu “Pesisir Pantai Bukan Area Komersialisasi Investor”. Liriknya yang jujur menggambarkan dampak kerusakan alam akibat rakusnya manusia.
Layaknya dejavu, Madi sempat tertegun menguraikan kondisi saat ini yang dirasakan Himpunan Nelayan Tongkol Kelurahan Bitung-Karangria.
90 hektare (ha) kawasan pesisir Manado Utara bakal direklamasi pihak pemegang penerbitan Kesesuaian Ruang Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan Izin Pelaksanaan Reklamasi dari pemerintah yakni PT Manado Utara Perkasa (MUP).
Hasil penelusuran jurnalis media ini sebagaimana dilansir dari Ekuatorial.com, di Sulawesi Utara sejak tahun 1998, sebanyak 19 ijin reklamasi untuk dua daerah telah diterbitkan pemerintah. Delapan ijin reklamasi pantai di Kota Manado seluas 114 ha, dan 11 di Kabupaten Minahasa seluas 140,59 ha.
Sekira pukul 17.35 Wita jelang Maghrib, Madi ditemani sang istri beranjak dari rumah menuju perahu di bibir pantai Karangria. Keduanya kembali merampas takdir Tuhan di lautan.
Harap Madi; pemerintah tidak buta hati. Nasib mereka sebagai nelayan tradisional tidak berujung pada perampasan ruang hidup.