Jejak Keabadian Pramoedya : Api Sastra Itu Menyala dari Blora Hingga ke Panggung Sastra Dunia

Adik kandung Pramoedya, Soesilo Toer Bersama Pelajar dari SMK Muhammadiyah 1 Blora

BLORA,SULAWESION.COM — Di sebuah rumah sederhana di Jalan Sumbawa nomor 40, Kelurahan Jetis, Blora, waktu seakan berhenti. Dinding kayu tua yang memudar, tumpukan buku-buku lusuh, dan aroma nostalgia menyambut setiap langkah yang memasuki rumah masa kecil sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dari tempat inilah, kisah seorang anak kampung menembus batas bangsa dan menorehkan namanya di panggung sastra dunia.

Pagi itu, Rabu (8/10/2025), beberapa pelajar dari SMK Muhammadiyah 1 Blora datang berkunjung. Dengan mata berbinar dan rasa ingin tahu yang meluap, mereka melangkah hati-hati melewati teras tua yang pernah menjadi tempat kecil Pram merenung.

“Sebagai anak Blora, kami bangga dan kagum pada karya Pramoedya Ananta Toer. Baru kali ini kami bisa mengunjungi rumah masa kecil beliau,” ujar Farros dan Bayu, dua pelajar yang tak bisa menyembunyikan rasa haru mereka.

Di dalam rumah, sosok renta berusia 88 tahun menyambut dengan senyum hangat. Ia adalah Soesilo Toer, adik kandung Pram penjaga terakhir kenangan sekaligus saksi hidup perjalanan sang kakak. Meski penglihatan dan pendengarannya mulai redup, semangatnya tetap menyala seperti lilin di tengah malam yang sunyi.

“Aku mulai menulis sejak umur 18 tahun,” ucap Mbah Soes sembari tertawa kecil, mengenang masa mudanya. Di sela obrolan, ia bercerita tentang Pram yang keras kepala, penuh ide, dan tak pernah berhenti menulis bahkan di pengasingan.
“Menulis itu kerja keabadian,” ujarnya lirih namun tegas. “Kalau kalian mau jadi penulis, kenali lingkunganmu, cari ilham, dan baca sepuluh ribu buku.”

Rak kayu di ruang tamu menjadi saksi bisu perjalanan hidup keluarga Toer. Di sana, deretan buku karya Soesilo tersusun rapi mulai dari esai, catatan sejarah, hingga kisah pribadinya tentang sang kakak.
“Kalau mau lihat boleh. Kalau mau beli, juga boleh,” katanya sambil tersenyum, menawarkan karya-karyanya kepada para pelajar yang tertegun.

Bagi generasi muda Blora yang tumbuh di era serba digital, kunjungan ini bukan sekadar nostalgia. Ia adalah perjalanan spiritual menghubungkan masa lalu dan masa depan dalam satu tarikan napas. Tanpa dikomando, para siswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) langsung mengabadikan momen itu. Kamera ponsel berputar dari sudut ke sudut, merekam setiap detail: meja tua, foto hitam-putih Pram, dan tumpukan naskah di pojok ruangan.

“Kami buat konten di rumah masa kecil Mbah Pram. Terima kasih Mbah Soes dan keluarga yang telah menerima kami,” ucap Hanifah, yang terlihat masih larut dalam suasana penuh takzim.

Dari tempat yang sama, Salza, siswi SMKN 1 Cepu, mengaku kagum dengan kedalaman karya Pramoedya.
“Bumi Manusia bukan hanya novel, tapi cermin perjuangan manusia untuk merdeka secara lahir dan batin,” ujarnya. “Nilai-nilainya masih relevan, bahkan di zaman sekarang.”

Kisah tentang Pramoedya memang tak lekang oleh waktu. Dari Blora yang sunyi, ia menulis tentang perlawanan, cinta, dan kemanusiaan menghadirkan Tetralogi Bumi Manusia yang kini diterjemahkan ke puluhan bahasa dan membuatnya menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah dinominasikan Hadiah Nobel Sastra.

Sore menjelang ketika rombongan pelajar itu pamit. Cahaya matahari jatuh miring, menembus kisi-kisi jendela, menerangi wajah Mbah Soes yang menatap kosong ke kejauhan. Di matanya yang renta, masih terpantul bayangan sang kakak Pramoedya, yang meski telah tiada, terus hidup lewat kata-katanya.

Dan di hati anak-anak muda Blora itu, api kecil mulai menyala. Api yang mungkin suatu hari nanti akan melahirkan Pram-Pram baru dari tanah yang sama Blora, bumi sastra yang abadi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan