Lasem Diterpa Tsunami Sepanjang 7 KM

Arak-arakan Kiem Sin saat kirab agung puncak perayaan HUT YM Makco Thian Siang Sing Bo, Minggu 20 April 2025. (Foto: Zainal)

REMBANG, SULAWESION.COM – Lasem tidak hanya bergemuruh oleh suara tambur dan lonceng, tetapi juga oleh denyut ribuan jiwa yang tumpah ruah memenuhi jalanan pada Minggu 20 April 2025 pagi. Kota pusaka ini seolah diterpa tsunami manusia sepanjang tujuh kilometer.

Namun bukan gelombang kehancuran yang datang—melainkan gelombang spiritualitas dan kebudayaan menyatukan setiap orang dalam satu irama; hormat, takjub, dan haru.

Bacaan Lainnya

Kirab Agung Kiem Sin, puncak perayaan HUT YM Makco Thian Siang Sing Bo menyedot perhatian ribuan peziarah, wisatawan, dan masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia.

Selama tiga hari berturut-turut dari 18 hingga 20 April 2025, Lasem berubah menjadi panggung terbuka bagi sejarah dan spiritualitas yang hidup kembali dalam wujud arak-arakan sakral.

Sebanyak 70 Kiem Sin yaitu patung-patung suci para dewa diarak dari berbagai klenteng ternama di Pulau Jawa, Jakarta, hingga Palembang.

Masing-masing diusung dengan tandu indah, dijaga dengan penuh khidmat oleh para pembawanya yang berpakaian upacara.

Di setiap sisi tandu, asap dupa mengepul lembut ke langit, menyebarkan aroma harum yang menenangkan jiwa. Jalannya kirab terasa seperti ziarah dalam gerak penuh penghormatan dan keheningan batin, namun tetap megah dan penuh warna.

Setiap langkah kirab menyusuri jalanan Lasem membawa suasana magis. Tambur berdentum pelan namun menghentak dada. Bunyi lonceng dari klenteng-klenteng sepanjang rute menyatu dengan kidung doa yang mengalun dari mulut para pendeta.

Di kiri-kanan jalan warga berdiri rapat, banyak yang menangkupkan tangan. Beberapa menangis diam-diam dan anak-anak memandang penuh takjub, seolah tengah melihat barisan dewa turun dari langit.

Pusat dari seluruh perayaan ini adalah Klenteng Tjoe An Kiong di Jalan Dasun salah satu klenteng tertua di Indonesia yang telah berdiri sejak abad ke-18.

Bukan sekadar tempat ibadah, Tjoe An Kiong adalah nadi kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Tionghoa Lasem, serta simbol persatuan dan toleransi antaretnis yang sudah terjalin selama berabad-abad.

“Kirab ini bukan sekadar ritual, ini adalah jiwa kami. Kami percaya para dewa hadir dan memberkati kota ini setiap kali mereka diarak keliling,” ungkap seorang umat sambil menyeka air mata di pipinya.

Yang paling menyentuh, bukan hanya umat Tionghoa yang terlibat. Warga dari berbagai latar belakang agama dan budaya ikut ambil bagian.

Mereka membantu mengatur arus lalu lintas, membagikan air mineral kepada peserta, bahkan menyediakan tempat beristirahat di rumah mereka bagi para tamu luar kota.

Lasem di tengah hiruk-pikuk perayaan memperlihatkan wajah aslinya hangat, terbuka, dan penuh cinta kasih.

Saat malam tiba, langit Lasem bermandikan cahaya lampion dan kembang api. Jalanan yang siangnya penuh lautan manusia kini dipenuhi nyala lilin dan gema doa.

Di antara aroma dupa dan bayang-bayang patung dewa yang tampak sakral dalam kelam, waktu seakan berhenti. Lasem tidak sedang merayakan masa lalu tetapi sedang menghidupkannya kembali.

Kirab Agung ini bukan hanya pertunjukan budaya. Ia adalah panggilan jiwa, perayaan harmoni, dan bukti bahwa Lasem bukan sekadar kota tua tapi ruang suci tempat sejarah, iman, dan kemanusiaan bersatu dalam satu tarikan napas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan