Mahkamah Konstitusi Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

Mahkamah Konstitusi (MK) saat menggelar sidang putusan uji materi. (Dokumentasi | Istimewa)

JAKARTA, SULAWESION.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Keputusan tersebut tertuang dalam putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di ruang sidang MK, Kamis (2/1/2024) kemarin.

Bacaan Lainnya

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo di kutip dari KOMPAS.com

Suhartoyo mengatakan, norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan itu menjadi angin segar sekaligus kejutan karena MK akhirnya menghapus ambang batas pencalonan presiden setelah 36 kali digugat.

Alasan MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden Dalam pertimbangannya, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengatakan, ambang batas pencalonan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, berapapun besaran ambang batas itu.

Sebab, dengan ambang batas, tidak semua partai politik bisa memberikan pilihan calon presiden dan calon wakil presiden.

“Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ucap Saldi.

Aturan threshold ini juga berpotensi hanya melahirkan dua pasangan capres-cawapres, bahkan berisiko menciptakan pasangan calon tunggal.

Menurut MK, hal itu setidaknya terlihat dari fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Padahal, pemilu yang hanya diikuti dua pasangan calon bisa membelah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan mengancam kebhinekaan Indonesia.

Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai mempertahankan ambang batas pencalonan presiden berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi.

Lewat putusan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menegaskan setiap partai politik peserta pemilu bisa mencalonkan calon presiden dan wakil presiden.

“Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.

Meski dapat mengusung calon sendiri, partai-partai politik tetap dibolehkan untuk berkoalisi dengan partai politik lain guna mengusung calon mereka.

Saldi Isra menegaskan, koalisi masih dimungkinkan dengan aturan tidak menyebabkan dominasi gabungan sehingga menyebabkan terbatasnya pilihan capres-cawapres.

Partai politik peserta pemilu juga diwajibkan untuk mengusulkan pasangan capres-cawapres agar tidak mendapatkan sanksi.

“Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya,” tutur Saldi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *