BLORA,SULAWESION.COM– Di sebuah sudut hening Kabupaten Blora, tepatnya di Desa Jiken, seni tua masih bernapas di antara akar-akar jati yang dulu dianggap tak berguna.
Di tangan para perajin desa ini, terutama Sekti Giantoro dan Asnawi, gembol akar kayu jati sisa disulap menjadi karya seni bernilai tinggi yang menggetarkan ruang tamu hingga galeri.
Di tengah derasnya arus modernisasi, ketika produk-produk mebel berbahan pabrikan mendominasi pasar dengan desain seragam dan harga yang ditekan, para perajin Jiken memilih bertahan di jalur sepi: mempertahankan warisan.
“Kami tidak menolak kemajuan, tapi kami memilih untuk tak melupakan akar,” ujar Sekti Giantoro, saat ditemui Kamis 26 Juni 2025, di bengkel kayu beratap seng miliknya.
Sekti bukan sekadar memahat kayu. Ia membaca alur serat, meraba cerita dalam lekukan akar jati yang bengkok, lalu menafsirnya menjadi kursi, meja, dan patung penuh makna.
Harganya pun tidak main-main: dari Rp1 juta hingga belasan juta rupiah, tergantung ukuran dan kerumitan desain.
Namun nilai sejatinya bukan pada rupiah. Gembol diambil dari akar-akar jati yang telah ditebang dan tak lagi digunakan.
Alih-alih menjadi limbah, akar itu diolah menjadi karya seni. Dalam filosofi Jawa, akar adalah simbol dari asal-muasal, kekuatan tersembunyi, dan keteguhan dalam menghadapi waktu.
“Yang tertanam, justru yang paling kuat,” ujar Asnawi, perajin lain yang telah menekuni seni ini sejak 2003.
Dalam setiap karyanya, para perajin Jiken menyisipkan kearifan lokal: motif semar, simbol doa, atau abstraksi pohon kehidupan.
“Gembol ini adalah cermin hidup orang desa. Sederhana, tapi dalam,” ujar Asnawi lirih.
Meski berasal dari desa, pemasaran mereka lintas kota dan lintas negara.
“Lewat Facebook dan WhatsApp, sudah sampai ke Bandung, Bali, Makassar, bahkan Malaysia dan Singapura,” jelas Sekti. Keterbatasan infrastruktur tidak menyurutkan semangat mereka merambah pasar.
Menurut data Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), ekspor produk mebel Indonesia pada tahun 2024 menembus USD 2,8 miliar. Namun kontribusi mebel berbasis kerajinan tradisional seperti gembol masih kecil, di bawah 5 persen.
“Padahal itu sektor yang membawa keunikan khas Indonesia. Produk gembol punya potensi besar jika dibina dan dipromosikan serius,” kata Abdul Sobur, Ketua Presidium HIMKI, saat dihubungi terpisah.
Namun di balik harapan itu, ada kecemasan yang tak bisa ditepis: generasi muda desa mulai meninggalkan dunia ukir.
“Anak-anak muda lebih pilih kerja di kota, kerja pabrik, atau jadi konten kreator. Jarang yang mau belajar motong akar, kotor-kotoran,” keluh Asnawi.
Padahal, nilai-nilai budaya dan filosofi lokal yang terkandung dalam gembol tidak bisa dipelajari instan. Ia membutuhkan warisan pengetahuan turun-temurun.
Pemerintah daerah sendiri sudah mulai mencium potensi ini.
“Kami sedang menjajaki pembinaan UMKM gembol, termasuk kemungkinan kolaborasi dengan desainer nasional,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Blora, Sri Handoko, saat dikonfirmasi.
Ia menyebutkan bahwa promosi produk lokal berbasis akar budaya akan menjadi salah satu prioritas dalam RPJMD Blora 2025–2030.
Bagi Sekti dan rekan-rekannya, gembol bukan sekadar sumber penghasilan. Ia adalah identitas. Ia adalah jalan sunyi yang dipilih untuk tetap relevan di tengah perubahan zaman yang deras.
“Modern boleh, tapi jangan sampai lupa siapa kita. Dari akar-akar ini, kami tumbuh,” ujar Sekti, sambil mengelus meja jati yang baru selesai dipernis.
Di Jiken, suara gergaji masih terdengar. Serpihan kayu jatuh di tanah, seakan menjadi simbol bahwa meski zaman terus berubah, masih ada jiwa-jiwa yang memilih bertahan menjaga nyawa kayu agar tetap hidup dalam bentuk yang paling jujur: seni.
Seni gembol dari Jiken adalah potret kecil dari pergulatan besar bangsa ini: antara modernitas dan tradisi, antara pasar dan akar budaya. Mungkin kita tak bisa menghentikan waktu, tapi kita bisa memilih untuk tak melupakan dari mana kita berasal.