Napak Tilas Blacak Ngilo di Goa Sentono, Menyimpan Luka Sejarah Tanah Jawa

Destinasi wisata Goa Sentono di Blora. (Dokumentasi | Ist)

BLORA, SULAWESION.COM – Di jantung hutan yang sepi, tempat di mana cahaya matahari hanya sesekali menyentuh tanah, Goa Sentono berdiri tak sekadar sebagai fenomena geologis.

Ia adalah altar purba, menyimpan gema pertarungan spiritual, bayang-bayang kekuasaan, dan jejak peradaban yang terlupakan.

Tak banyak yang tahu, goa ini bukan hanya ruang kosong di perut bumi, melainkan panggung bisu dari drama sejarah yang pernah mengguncang Tanah Jawa.

Blacak Ngilo: Dari Guru ke Tiran

Konon, di Dusun Sentono pernah berdiri sebuah padepokan spiritual yang dipimpin oleh tokoh kharismatik: Ki Blacak Ngilo.

Ia bukan sekadar guru, tetapi penjaga tatanan, tempat orang-orang menimba ilmu pertanian, kanuragan, hingga kesadaran batin.

Namun kuasa yang tak terbatasi menumbuhkan keangkaramurkaan. Blacak Ngilo berubah menjadi tiran, menjarah warganya sendiri, memeras tenaga dan kehormatan, bahkan menuntut tumbal manusia demi kekebalan diri.

Kisah kelam ini menggema hingga ke telinga Sunan Bonang, salah satu wali besar dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.

Maka terjadilah pertarungan batin dan fisik selama tujuh hari tujuh malam pertarungan antara gelap dan terang, antara keserakahan dan pencerahan.

Di hari ketujuh, saat kekuatannya mulai surut, Blacak Ngilo mencoba melarikan diri dan menghilang ke dalam tanah.

Sunan Bonang menyusulnya. Dari pertemuan dua arus kekuatan inilah, masyarakat percaya, terbentuklah Goa Sentono. Nama “Sentono” pun diyakini berasal dari kata “semenden”—tempat istirahat terakhir Blacak Ngilo sebelum menyerah kepada cahaya.

Ketika Cahaya Menari di Perut Bumi

Masuk ke dalam Goa Sentono seperti melangkah ke dimensi lain. Dindingnya tak hanya memantulkan gema suara, tetapi juga sejarah yang seolah berbisik.

Saat sinar mentari menyusup dari celah-celah batu, ia berubah menjadi simfoni cahaya: menari di antara stalaktit, menciptakan ilusi mistik yang tak bisa ditangkap kamera secara utuh.

“Setiap sudut goa seolah berbicara,” tutur Sutikno, Kamituwo Dusun Sentono. “Saat senja, cahaya jingga masuk, membelai batu-batu lembap. Rasanya seperti berada di antara dunia nyata dan dunia legenda.”

Goa ini dikelilingi lanskap alami yang memanjakan mata—hutan tropis, lembah hijau, dan aroma tanah basah yang membawa ketenangan. Tak heran jika banyak yang datang bukan hanya untuk berwisata, tetapi mencari ketenangan jiwa.

Menghidupkan Kembali Pusaka yang Terlupakan

Selama bertahun-tahun, Goa Sentono hanya hidup dalam cerita dan ingatan warga. Namun kini, pemerintah daerah dan komunitas lokal tengah bahu membahu menghidupkannya kembali. Festival budaya, promosi digital, dan revitalisasi akses sedang digencarkan. Ketika digelar event budaya, pengunjung bisa mencapai ribuan orang—tanda bahwa goa ini tak lagi sekadar warisan diam, tapi telah menjadi denyut baru dalam nadi pariwisata Blora.

“Ini bukan sekadar tempat wisata,” tambah Sutikno. “Ini rumah bagi cerita kita. Sejarah kita.”

Menyentuh Masa Lalu, Menemukan Diri

Goa Sentono bukan hanya batu dan legenda. Ia adalah simbol perjalanan spiritual bangsa ini—tentang bagaimana kekuasaan diuji, tentang bagaimana manusia jatuh dan bangkit, dan tentang bagaimana cahaya selalu menemukan jalan, bahkan di tempat tergelap sekalipun.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, Goa Sentono mengajak kita berhenti sejenak. Menyusuri lorong-lorong sejarah. Mendengar kembali bisikan tanah. Dan mungkin, menemukan kembali siapa kita sebenarnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan