BLORA,SULAWESION.COM – Di antara riuhnya zaman yang terus bergerak maju dengan teknologi dan logika, masih terselip ruang bagi tradisi untuk bernapas.
Di Blora, Jawa Tengah, setiap datangnya bulan Suro dalam penanggalan Jawa, aroma minyak cendana, asap kemenyan, dan suara lirih doa-doa kembali menyeruak di trotoar eks Stasiun Kereta Api Blora.
Disitulah Mulyono (67), penjamas pusaka asal Desa Todanan, menyulam kembali warisan spiritual yang hampir terlupakan.
Dengan balutan blangkon di kepala dan sarung lusuh yang tak pernah ia ganti selama bertahun-tahun menjalani profesinya, Mulyono duduk bersila di atas tikar plastik sederhana.
Di hadapannya, tersusun rapi piranti tradisional seperti jeruk nipis, air rendaman bunga, minyak pusaka, hingga sabut kelapa. Tangannya gemetar pelan bukan karena usia, melainkan karena kesungguhan menghormati setiap bilah keris yang datang kepadanya.
“Saya sudah mulai mangkal sejak 27 Juni kemarin. Memang masih sepi, biasanya ramai pertengahan bulan Suro,” tutur Mulyono, Rabu 2 Juli 2025 sembari memoles sebilah keris berlumur warangka kayu cendana.
Meski usianya tak lagi muda, Mulyono tetap berkomitmen melayani siapa pun yang ingin menjamas benda pusaka.
Tarifnya tak pernah berubah sejak beberapa tahun terakhir Rp15.000 hingga Rp20.000 per bilah. Bagi Mulyono, ini bukan sekadar pekerjaan musiman, tapi bentuk pengabdian terhadap budaya dan nilai-nilai luhur.
“Saya tidak pernah menaikkan harga. Ini bukan soal uang. Setiap benda pusaka yang datang punya cerita, punya jiwa. Saya hanya menjadi perawatnya,” ucapnya lirih.
Setiap tahun, para langganan setianya datang membawa benda peninggalan yang sudah diwariskan secara turun temurun. Salah satunya adalah Joko Purnomo, warga Desa Tambaksari, Kecamatan Blora.
Ia datang membawa beberapa keris milik ayah dan kakeknya, juga satu miliknya sendiri.
“Setiap bulan Suro, benda peninggalan ini selalu saya rawat. Ada semacam rasa tanggung jawab moral dan spiritual. Saya percaya, pusaka ini membawa aura kedamaian, menjaga keluarga kami dari hal-hal buruk,” kata Joko.
Bagi Joko dan ratusan warga Blora lainnya, bulan Suro bukan sekadar momentum mistis. Ini adalah ruang refleksi, penghormatan pada leluhur, dan pengingat bahwa spiritualitas tak melulu soal ritual, tapi juga warisan nilai yang dijaga dengan kesadaran.
“Beberapa kali ditawar kolektor, tapi tidak pernah saya lepas. Karena nilai pusaka ini bukan pada bentuknya, tapi pada sejarah dan doanya,” imbuhnya.
Tradisi jamasan pusaka ini, di tengah zaman digital dan pasar benda antik, menjadi semacam perlawanan halus terhadap budaya instan.
Di trotoar yang tak lagi ramai penumpang kereta itu, Mulyono tak hanya mencuci keris, tapi juga menjaga denyut peradaban Jawa yang sunyi tapi dalam.