Perjalanan Hebat Buah Okra Blora, Dari Desa Medalem ke Tokyo

kelompok tani okra Blora, dan Hazy Gawa dari Jepang yang mewakili para pembeli internasional

BLORA,SULAWESION.COM – Dari tanah merah yang mengering di musim kemarau, hingga hijau subur yang tak banyak diketahui publik, Blora diam-diam tengah membangun harapan baru.

Di balik gegap-gempita wacana ketahanan pangan nasional, sebuah kisah tumbuh perlahan namun pasti—tentang okra, tanaman yang dulu asing, kini menjadi simbol kebangkitan ekonomi petani desa.

Bacaan Lainnya

Kamis, 19 Juni 2025. Sebuah rumah sederhana di Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, menjadi pusat pertemuan penting namun informal.

Di sana berkumpul nama-nama yang tengah menggerakkan perubahan: Simbar Susilo, ketua kelompok tani okra Blora; Satwo Sugeng Prayoga, Direktur Operasional PT Kelola Agro Makmur dan Hazy Gawa, wanita energik dari Jepang yang mewakili para pembeli internasional.

Hadir pula Suparji, koordinator utama jaringan tani okra Blora, serta sejumlah petani lokal seperti Parjan dan Khoirurroziqin.

Pertemuan itu bukan sekadar temu wicara biasa. Mereka melakukan ceking lapangan, meninjau langsung tanaman okra, mengevaluasi sistem seleksi buah, hingga menyimak bagaimana standar ekspor dipenuhi. Semuanya demi menjawab satu pertanyaan: Siapkah Blora menembus pasar Jepang dan Korea Selatan dengan komoditas lokalnya sendiri?

“Di Jepang, kualitas bukan sesuatu yang bisa ditawar,” tegas Satwo Sugeng Prayoga. Menurutnya, dari 20 ton kapasitas olahan okra per hari di pabriknya, 65 persen bahan baku berasal dari Blora. Namun, itu baru awal. Jika kualitas terus dijaga, volume ekspor bisa berlipat.

Hazy Gawa pun mengamini. Setelah turun langsung ke ladang dan lokasi seleksi buah, ia tak menemukan satu pun indikasi kerusakan mutu.

“Saya sangat terkesan. Para petani di sini bekerja dengan ketekunan luar biasa,” katanya sambil tersenyum. Ia percaya, dengan semangat seperti itu, okra Blora punya tempat di rak-rak supermarket Tokyo.

Di sisi lain, Suparji, motor penggerak distribusi okra Blora, mengungkapkan bahwa minat petani terus meningkat.

“Setiap hari saya membeli lebih dari 10 ton. Petani sekarang melihat okra sebagai peluang, bukan sekadar alternatif.”

Salah satunya adalah Simbar Susilo, yang kini membina lebih dari 50 hektar lahan okra. Di rumahnya, setiap hari dilakukan seleksi ketat untuk menentukan kualitas buah yang layak ekspor. Harga jual pun tergolong stabil dan menjanjikan: kualitas A dihargai Rp5.700/kg, kualitas B Rp2.250/kg.

Petani seperti Parjan dari Desa Turirejo mengaku hasil panen dua hari sekali dari dua hektar lahannya lebih menjanjikan dibandingkan tanaman lain.

Bahkan, Khoirurroziqin, mantan pejabat Blora dan ketua takmir Masjid Agung, kini ikut turun ke ladang. Insyaallah berkah, sembari menyebutkan bahwa menanam okra baginya bukan hanya kegiatan ekonomi, tapi juga spiritual.

Bukan hanya soal nilai ekspor, buah okra juga disebut-sebut sebagai “superfood masa depan”. Dari menstabilkan gula darah, menjaga kesehatan jantung, hingga meningkatkan imunitas—okra membawa nilai tambah yang bisa menjangkau pasar gaya hidup sehat di dalam dan luar negeri.

“Harapan pun tumbuh. Semoga budidaya okra ini bisa selaras dengan arah pembangunan pertanian Blora,” harap Khoirurroziqin.

Blora memang belum setenar Brebes dengan bawangnya, atau Temanggung dengan tembakaunya.

Tapi dengan kerja senyap para petaninya, satu per satu lembaran baru sejarah pertanian lokal sedang ditulis. Dan di halaman terdepan, tertulis satu nama: okra Blora-simbol harapan baru dari desa yang tak pernah kehilangan semangatnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan