BLORA,SULAWESION.COM- Pagi itu, Cepu terasa berbeda. Suara langkah kaki kecil berderap di halaman Gedung Soos Sasono Suko, menyatu dengan desir napas gugup dan teriakan semangat para pelatih.
Di antara kerumunan, tampak ratusan anak dan remaja mengenakan gi putih bersih, sabuk dari berbagai warna melingkar di pinggang mereka. Mata mereka tajam, penuh mimpi.
Kejuaraan Karate antar Dojo Kapolres Blora Cup 2025 telah dimulai. Dan bagi 350 peserta dari 21 dojo ini, ini lebih dari sekadar pertandingan ini adalah panggung untuk mimpi yang selama ini mereka rajut dalam diam, dalam keringat latihan, dan dalam mimpi tidur mereka yang sunyi.
Di balik dentuman musik pembuka dan sambutan protokoler, ada kisah-kisah kecil yang menjelma besar. Seperti Aldo (14), peserta asal Bojonegoro, yang sudah berlatih karate sejak usia tujuh tahun.
“Saya ingin membanggakan orang tua. Mungkin suatu hari nanti ikut kejuaraan dunia,” katanya sebelum naik ke arena kata, matanya menatap ke depan, penuh fokus.
Kapolres Blora, AKBP Wawan Andi Susanto, yang membuka acara ini, tampak terharu. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa kejuaraan ini bukan hanya soal menang atau kalah.
“Kita sedang membangun karakter. Karate mengajarkan kendali diri, keberanian, dan hormat. Tiga hal yang harus dimiliki generasi masa depan,” tegasnya di hadapan peserta dan penonton yang memenuhi gedung.
Ajang ini mempertemukan para karateka muda dari Blora, Semarang, Ngawi, hingga Bojonegoro dalam dua kategori utama, kata dan kumite.
Arena pertandingan menjadi ruang di mana peluh bercampur harapan. Sorak sorai penonton mengiringi tiap langkah maju para atlet, yang sebagian bahkan belum genap berusia 10 tahun.
Salah satu pelatih dari Dojo Satria Bhayangkara menuturkan pihakny tak hanya melatih teknik, tapi juga hati.
“Karate adalah soal keberanian, bahkan saat kamu tahu kamu bisa kalah,”ujarnya.
Dan kalah pun tidak pernah berarti akhir. Bagi banyak peserta, kekalahan hari ini hanyalah batu loncatan untuk hari esok. Mereka bangkit, menunduk, memberi hormat. Lalu kembali ke barisan lebih kuat.
Kejuaraan ini menjadi salah satu peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang paling bermakna di Blora. Lebih dari itu, ia memperlihatkan bagaimana olahraga tradisional Jepang ini telah mengakar dalam kultur pembinaan anak-anak Indonesia, bahkan hingga kota-kota kecil seperti Blora.
“Ajang seperti ini harus terus ada. Di sinilah kita bisa menjaring bakat, mendidik karakter, dan menyatukan komunitas lintas daerah,” ujar salah satu ketua dojo yang datang dari Semarang.
Sampai sore hari, pertandingan terus berlangsung. Suasana kompetitif tidak menghalangi tawa dan saling rangkul antar peserta dari daerah berbeda. Karate, tampaknya, telah berhasil menjadi bahasa pemersatu.
Dan Blora, kota yang selama ini dikenal lewat budaya dan keteguhannya, kini menorehkan satu bab baru dalam peta olahraga nasional sebagai rumah bagi semangat muda yang tak gentar bermimpi.
Di ujung tribun, seorang anak kecil berdiri menonton kakaknya bertanding. Dengan gi yang masih kebesaran di tangan, ia berbisik pada ibunya, “Kalau tahun depan ada lagi, aku juga mau ikut.”
Itulah karate. Dimulai dari satu pertandingan, lalu berubah menjadi mimpi. Dan mimpi, seperti sabuk hitam, hanya bisa diraih oleh mereka yang cukup sabar dan berani melangkah.