Konferensi Pers dengan JATAM di KeKini Coworking Space, Jl. Cikini Raya Nomor 45, Menteng, Jakarta, Rabu (15/3/2023). (Foto: JATAM dan Save Sangihe Island (SSI)
JAKARTA, SULAWESION.COM – Warga pulau kecil, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) telah memegang salinan asli putusan Kasasi yang dimenangkan di Mahkamah Agung (MA) RI pada 12 Januari 2023 lalu, dalam gugatan melawan Menteri ESDM dan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) selaku Tergugat Intervensi.
Melalui siara Pers JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dalam amar putusan tersebut, Majelis Hakim Agung MA RI menyatakan “MENOLAK” upaya perlawanan Kasasi Menteri ESDM RI dan PT TMS, dengan mengabulkan gugatan warga Pulau Sangihe, yang sebelumnya telah menang pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.
“Perizinan telah dibatalkan, PT TMS Masih Ngotot Melakukan Operasi. Dugaan Keberpihakan Oknum Polda Sulut,” ungkap Jull Takaliuang, Perempuan pejuang asli Sangihe saat menjadi Narasumber pada Konferensi Pers dengan JATAM di KeKini Coworking Space, Jl. Cikini Raya Nomor 45, Menteng, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Menurut kesaksian Jull Takaliuang, dari Koalisi Save Sangihe Island atau SSI, sejak Majelis Hakim Agung MA RI memutuskan pembatalan perizinan PT TMS pada pada 12 Januari 2023 lalu, hingga Maret 2023, PT TMS masih tetap menjalankan kegiatan operasi pertambangannya dengan pekerjaan konstruksi dan mobilisasi alat-alat berat. Bahkan upaya pembangkangan hukum ini oleh PT TMS ini tidak dicegah atau dilarang oleh aparat penegak hukum di lokasi.
Padahal jelas putusan pengadilan menyatakan perizinan berusaha operasi produksi PT TMS seluas 42.000 (empat puluh dua ribu) Hektar di Pulau Sangihe telah batal berdasarkan Putusan Pengadilan Mahkamah Agung RI dan terdapat juga perintah penudaan segala aktivitas PT TMS secara serta merta.
“Tidak mudah proses yang ditempuh warga Pulau Kecil Sangihe dalam melawan perizinan pertambangan PT TMS ini hingga dimenangkan MA, apa lagi ini adalah perizinan tambang yang lahir dari Kontrak Karya yang tidak disesuaikan dengan Undang Undang Minerba,” jelas Takaliuang.
“Apa lagi, Koalisi SSI menemukan rekam jejak konflik kepentingan aparat kepolisian dari Polda Sulawesi Utara karena pernah menjadi kuasa hukum langsung Presiden Direktur PT TMS Terry Filbert pada kasus di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, sambungnya.
Menurut Takaliuang, saat ini oknum tersebut diduga menjadi petinggi di Polda Sulut yang selalu hadir dan turut menyampaikan argumen pendapat dalam rapat-rapat audiensi antara warga penggugat yang telah menang dengan pihak PT TMS yang memohonkan audiensi kepada Polda Sulut.
“Seperti forum audiensi yang terlaksana pada 6 Februari 2023 lalu, paparan oknum polisi terduga konflik kepentingan tersebut diprotes keras oleh salah seorang utusan SSI karena dirasa paparannya sudah layaknya Humas PT TMS dalam forum tersebut,” sebut Takaliuang.
Lebih lanjut, bahkan pada 27 Februari 2023, pihak Polda Sulut dengan didampingi pihak perusahaan telah mengunjungi lokasi PT TMS bersama sekaligus mendatangi pelabuhan Pananaru mengecek dua tronton bermuatan mesin bor (drilling) milik PT TMS yang terparkir di area pelabuhan penyeberangan, serta tronton yang terparkir di pinggir jalan Kampung Salurang.
“Tak hanya mengecek alat-alat berat milik PT TMS, dalam kunjungan tersebut pihak Polda Sulut juga melihat aktivitas tambang ilegal di Pulau Sangihe. Namun yang dilakukan hanya foto-foto saja tanpa ada penegakan hukum,” lanjut Takaliuang.
Perkembangan baru-baru ini, SSI mendapat kabar yang tidak masuk akal melalui berita media, yakni dalam waktu dekat PT TMS akan melakukan MoU dengan pihak Polda Sulut untuk mengamankan hak PT TMS.
“Pertanyaannya, hak apa yang mau diamankan dari perusahaan yang telah secara illegal beroperasi di Pulau Keci Sangihe?” tanya Takaliuang tegas.
“Dugaan keterlibatan oknum Aparat Polisi di Tambang Ilegal Pulau Sangihe pada sisi lain, Pertambangan Emas Tanpa Izin atau PETI di Pulau Sangihe yang dilakukan cukong-cukong yang dikenal dengan nama “Sembilan Naga Sulawesi Utara”, berlangsung terang-terangan memamerkan kekebalan hukumnya dalam merusak lingkungan hidup Pulau Sangihe,” tambah Takaliuang.
Sebelumnya, kegiatan pertambangan tanpa izin di Pulau Sangihe sesungguhnya telah dilaporkan dari tingkat Polres hingga Mabes Polri pada 21 November 2022 lalu oleh SSI. Akan tetapi hingga saat ini belum ada penegakan hukum yang terjadi di lapangan.
“Justru alat berat yang awalnya hanya belasan kini meningkat menjadi puluhan,” terang Takaliuang.
Takaliuag kemudian menuturkan, sedikitnya terdapat kurang lebih dua puluhan alat berat excavator beroperasi mengobrak-abrik Pulau Sangihe yang letaknya persis berbatasan langsung dengan Negara Filipina.
“Hal ini memperkuat dugaan keterlibatan oknum aparat polisi, yang seolah menutup mata dan melakukan pembiaran kegiatan melanggar hukum tersebut yang mengorbankan banyak rakyat tidak berdosa,” tuturnya.
Putusan MA RI: Tonggak Penyelamatan Kesatuan Sosial-Ekologi Pulau-Pulau Kecil Indonesia:
Bahwa sesungguhnya, putusan pembatalan perizian tambang di Kabupaten Kepulauan Sangihe bukanlah putusan pertama kali pembatalan izin tambang di Pulau Kecil Indonesia melalui gugatan yang dimenangkan rakyat. Sebelumnya pada MA juga pernah buat putusan hukum yang sama, atas gugatan warga pulau kecil Bangka di Minahasa Utara, Sulawesi Utara melawan PT Mikgro Metal Perdana (MMP) asal Tiongkok yang menang menang berturut-turut, mulai dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 211/G/2014/PTUN-JKT pada 14 Juli 2015, Putusan Pengadilan Tinggi TUN pada tanggal 14 Desember 2015, dan hingga Putusan Mahkamah Agung Nomor 255K/TUN/2016 tanggal 11 Agustus 2016.
Dari kedua putusan di atas, terdapat pertimbangan penting dari majelis hakim yaitu pulau kecil dan perairannya yang luasannya sama atau lebih kecil dari 2.000 (Dua Ribu) Kilometer Persegi terlarang bagi kegiatan pertambangan.
Sebagaimana termaktub dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui dengan UU No 1 Tahun 2014.
“Sudah seharusnya putusan tersebut menjadi tonggak utama Yurisprudensi bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil adalah kegiatan terlarang dan ilegal,” papar Takaliuang.
Dengan demikian, PT TMS tidak lagi punya legitimasi secara sosial, terlebih lagi secara hukum untuk melakukan aktivitas apapun di Pulau Sangihe.
“Serta, Arifin Tasrif selaku Menteri ESDM RI harus menghormati dan tunduk pada putusan MA ini, dengan segera mencabut dan membatalkan SK IUP Operasi Produksi PT TMS,” tegas Takaliuang sekali lagi.
Hal ini disebabkan putusan yang dimenangkan warga yakni Majelis Hakim Agung MA RI menguatkan putusan pada tingkat bandung di PTTUN Jakarta dengan mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya, mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan dan menyatakan batal keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS, serta mewajibkan Menteri ESDM RI mencabut keputusan tersebut. Sehingga PT TMS harus menghentikan seluruh aktivitas dan segara angkat kaki dari Pulau Kecil Sangihe.
Oleh karenanya JATAM Bersama Koalisi Save Sangihe Island menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia di akhir masa jabatannya agar membuat kebijakan yang bermanfaat nyata bagi rakyat pesisir dan pulau kecil atas ancaman krisis iklim, naiknya muka air laut dan percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil, dengan melakukan Moratorium Izin Baru dan Cabut seluruh Izin Tambang di seluruh Pulau Kecil Indonesia sebagai agenda penyelamatan kesatuan Sosial-Ekologi Kepulauan Indonesia.
Diketahui, Konferensi Pers ini menghadirkan sejumlah Narasumber diantaranya Muhammad Jamil (JATAM), Mongol Stress (Komedian/Diaspora Sangihe), Soleman B. Pontoh (Diaspora Sangihe) dan Afdil (Greenpeace) yang dimoderatori oleh Dian Purnomo.
Noufryadi Sururama