BLORA, SULAWESION.COM — Pemerintah Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, meluncurkan inovasi partisipatif bertajuk ‘Sambong Rasa’, sebuah ruang dialog terbuka antara pemerintah dan warga, untuk menyerap aspirasi masyarakat secara langsung, terutama dari kelompok strategis seperti tokoh masyarakat, pemuda, dan perempuan.
Diresmikan pada Selasa (17/6/2025) di Balai Desa Sambongrejo, program ini menandai langkah maju dalam model demokrasi deliberatif berbasis desa. Camat Sambong, Sunarno, menjelaskan bahwa program ini lahir dari kebutuhan akan jembatan komunikasi yang mampu menjangkau masyarakat yang belum tersentuh teknologi informasi.
“Kami ingin membangun komunikasi dua arah yang nyata. Sambong Rasa bukan hanya ruang dengar, tapi ruang jawab dan ruang tindak,” tegas Sunarno.
Program ini akan digelar secara maraton di lima desa: Sambongrejo, Sambong, Ledok, Pojokwatu, dan Gadu. Melalui diskusi tatap muka, masyarakat tidak hanya menyampaikan keluhan, tetapi juga merumuskan solusi dan usulan kebijakan berbasis kebutuhan riil di lapangan.
Dalam forum perdana itu, Perwakilan Koramil Sambong, Bataud Rahtama, menyampaikan progres program Makanan Bergizi (MBG) yang digagas TNI sejak awal bulan. Dari total 10 desa, baru tujuh yang terjangkau distribusi dapur umum karena kendala akses ke sekolah-sekolah pelosok.
“Kami targetkan bulan depan seluruh desa sudah ter-cover. Ini soal masa depan generasi kita,” ujarnya.
Selain MBG, Koramil juga membuka kesempatan konsultasi dan pelatihan bagi pemuda yang berminat menjadi prajurit TNI. Rahtama menambahkan bahwa pihaknya juga turut membantu distribusi gabah petani ke BULOG dengan harga pengaman Rp6.500 per kilogram, meski menekankan pentingnya logistik yang memadai.
Namun saat warga menanyakan soal jagung, TNI menyatakan tidak berada dalam kewenangan fasilitasi komoditas tersebut. Yeni, Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian Sambong, menegaskan bahwa kebijakan jagung berada di tangan Polri, dan BULOG Blora sendiri belum memiliki kapasitas menyerap jagung petani karena persoalan kadar air dan infrastruktur pengeringan.
“Jagung kering ideal untuk BULOG memiliki kadar air maksimal 14 persen. Itu bukan hal mudah dicapai oleh petani kita saat ini,” jelas Yeni.
Kritik lain datang dari kalangan muda tani. Janurman dari Desa Sambongrejo mempertanyakan mengapa bantuan benih dari Dinas Pangan Pertanian Perikanan dan Peternakan (DP4) Blora kerap berubah tiap tahun, sementara varietas unggul yang cocok justru hilang dari daftar bantuan.
Yeni menjawab bahwa semua pengadaan mengacu pada e-Katalog pemerintah pusat. Ironisnya, kata dia, banyak perusahaan justru menarik produk unggul mereka dari sistem e-Katalog karena harga yang terlalu rendah dibanding pasar.
Forum berlangsung dinamis, membuka ruang bagi instansi lain untuk ikut serta, seperti Puskesmas Sambong, Kementerian Sosial, hingga Kantor Urusan Agama. Camat Sunarno menutup acara dengan menegaskan bahwa setiap usulan konkret yang belum terjawab akan disalurkan secara berjenjang ke tingkat kabupaten hingga kementerian.
“Program ini bukan sekadar dengar pendapat. Ini adalah proses membentuk kebijakan dari suara warga,” tandasnya.
Kepala Desa Sambongrejo, Heru Prayitno, mengapresiasi penuh terobosan Sambong Rasa. Ia bahkan menyandingkan inisiatif ini dengan program “Blora Menyapa” yang sebelumnya terbukti efektif mendekatkan birokrasi dengan warga desa.
“Sambong Rasa adalah harapan baru. Jika dijaga konsistensinya, ini bisa menjadi role model nasional untuk penguatan demokrasi berbasis desa,” ujarnya.
Pertemuan berakhir pukul 11.45 WIB dengan komitmen bahwa Sambong Rasa akan berlanjut, berkembang, dan memperkuat fondasi pembangunan yang lahir dari suara rakyat sendiri.