Serabi Trembulrejo: Kisah Siti Indasah Perempuan Pelestari Cita Rasa Leluhur

Siti Indasah penerus legendaris kuliner tradisional serabi Blora

BLORA,SULAWESION.COM — Saat fajar belum sepenuhnya menembus langit Desa Trembulrejo, aroma khas dari wajan tanah liat yang mengepul perlahan sudah menyambut pagi. Di sebuah sudut jalan di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, seorang perempuan paruh baya tampak sibuk menuang adonan putih kental ke dalam cetakan bundar di atas bara api. Dialah Siti Indasah (46), penerus legendaris kuliner tradisional yang tak pernah kehilangan tempat di hati para penikmatnya: serabi Blora.

Di tengah gegap gempita makanan kekinian dan gempuran tren kuliner modern, Siti tetap setia menjaga warisan ibunya sebuah warisan rasa dan ketekunan yang diracik dari bahan sederhana: tepung, kelapa parut, dan sedikit beras ketan. Namun justru dari kesederhanaan itulah, kisah ini menjadi istimewa.

“Serabi yang baik itu bukan cuma soal rasa saat hangat. Tapi ketika dingin pun, ia tetap empuk, tetap kenyal. Itulah tanda cinta yang dimasukkan dalam setiap adonan,” ujar Siti kepada SULAWESION.COM, Jum’at (4/7/2025), sembari meniup bara di tungku kecilnya.

Serabi buatannya dibungkus daun pisang, menebar aroma alami yang mengundang selera, dan ditaburi kelapa parut segar sebagai pelengkap rasa. Tak ada krim, tak ada saus modern, tapi justru di sanalah letak kemewahannya. Dengan harga Rp 2.000 per bungkus, Siti mampu menjual habis serabinya dua kali dalam sehari: pagi sejak pukul 03.30 dan sore menjelang matahari terbenam.

“Dari dulu hingga sekarang, takaran tidak pernah kami ubah. Karena rasa itu bukan sekadar soal lidah, tapi soal kenangan,” tambahnya pelan.

Serabi Blora bukan sekadar kudapan. Ia adalah pengikat ingatan banyak generasi. Hanifah (19), mahasiswi asal Semarang yang kebetulan sedang pulang kampung, mengaku selalu menyempatkan diri mampir ke Trembulrejo hanya untuk membeli serabi Siti.

“Setiap gigitan membawa saya ke masa kecil, ke pagi-pagi ketika nenek membuatkan sarapan. Rasa ini bukan sekadar enak, tapi menghangatkan,” tuturnya.

Di balik cerita manis itu, ada tantangan yang diam-diam mengintai. Modernisasi perlahan menggerus warung-warung tradisional. Penjual kuliner otentik semakin jarang, terlebih yang masih mempertahankan cara pembuatan konvensional.

Namun Siti tak goyah. “Selama masih ada yang mau makan serabi, selama orang masih mencari rasa masa lalu, saya akan tetap membuatnya. Ini bukan sekadar jualan. Ini bagian dari identitas kami,” katanya sambil tersenyum, matanya berbinar.

Pemerintah Kabupaten Blora sebenarnya sudah mulai melirik kekayaan kuliner lokal sebagai potensi unggulan wisata daerah. Kepala Dinas Pariwisata Blora, dalam wawancara terpisah, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan program sertifikasi dan promosi untuk UMKM tradisional seperti milik Siti.

“Kuliner seperti serabi Trembulrejo bukan hanya soal makanan, tapi adalah narasi budaya. Kita perlu melestarikan, mempromosikan, dan mengangkatnya ke panggung nasional,” ungkapnya.

Sementara itu, di warung mungil beratap seng itu, Siti Indasah tetap melanjutkan ritual pagi harinya. Satu per satu serabi matang ia tata rapi di nampan bambu. Tak banyak bicara, hanya senyum dan sapaan akrab untuk setiap pelanggan yang datang.

Mungkin tak banyak yang tahu, dari balik asap wajan itu, terselip sebuah bentuk perlawanan, perlawanan terhadap lupa, terhadap masa lalu yang tergerus zaman.

Dan selama bara itu terus menyala, selama daun pisang masih membungkus kehangatan rasa, serabi Blora akan terus hidup menjadi pelipur rindu, dan penjaga kenangan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan