BLORA,SULAWESION.COM- Pemerintah Kabupaten Blora resmi memulai operasional Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 18 Blora pada Senin (14/7), dengan menyambut 50 siswa terpilih dari keluarga tidak mampu. Sekolah ini menawarkan sistem pendidikan gratis dan berbasis asrama sebagai bagian dari komitmen pemerataan pendidikan di wilayah pelosok.
Kepala SRMA 18 Blora, Tri Yuli Setyoningrum, menyampaikan bahwa para siswa tampak antusias pada hari pertama masuk. “Mereka langsung tinggal di asrama untuk mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Kegiatan dimulai sejak pagi, dengan registrasi dan pembagian kamar,” ujarnya.
Hari pertama diisi dengan pemeriksaan kesehatan oleh Dinas Kesehatan Daerah dan tes kebugaran jasmani berupa lari sejauh 1.600 meter di Lapangan Tuk Buntung. Selain itu, para siswa mengikuti sesi daring bersama Menteri Sosial, Menteri Pendidikan, dan Menteri Kesehatan sebagai penguatan karakter dan wawasan kebangsaan.
“Untuk sementara, kami izinkan orang tua menjenguk di luar jam pelajaran karena ini masih masa adaptasi. Namun, saat masa pembelajaran aktif, kunjungan akan dibatasi,” jelas Tri Yuli. Ia menambahkan bahwa kepulangan siswa dijadwalkan saat libur semester dan akan difasilitasi oleh sekolah.
Para siswa yang diterima di SRMA 18 berasal dari 11 kecamatan di Blora. Jarak terjauh dari Desa Wukursari, Kecamatan Todanan, sementara yang terdekat dari wilayah Cepu.
Mengenai fasilitas, pihak sekolah mengklaim telah menyiapkan kebutuhan dasar asrama. Namun, seragam sekolah dan perlengkapan seperti laptop masih dalam proses distribusi dari 37 titik pengadaan. “Kami pastikan keterlambatan ini tidak mengganggu proses belajar,” imbuhnya.
Hari pertama sekolah juga diwarnai suasana haru dari para orang tua siswa. Eni Purwati, warga Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, mengaku tak kuasa menahan air mata saat melepas putrinya. “Saya sangat bersyukur ada program sekolah gratis seperti ini. Di tengah kondisi ekonomi kami yang sulit, ini adalah berkah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Hal serupa disampaikan Sulastri, warga Desa Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban. Ia rela melepas anak lelakinya demi masa depan yang lebih baik. “Saya hanya bisa mendoakan. Dari sekolah sudah tersedia semuanya. Harapan kami, anak bisa lanjut kuliah,” ungkapnya.
Dari 50 siswa yang diterima, 17 di antaranya laki-laki dan sisanya perempuan. Mereka dipilih melalui seleksi ketat dan berasal dari keluarga miskin penerima bantuan sosial.







