Tangisan di Balik Bendungan Karangnongko

Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan Kantor Pertanahan Blora, Atikah. Dokumentasi | Ist)

BLORA, SULAWESION.COM – Sepi masih menyelimuti pagi di Desa Ngrawoh, Kecamatan Kradenan, Blora. Deru cangkul dan sapuan angin dari hamparan ladang jadi irama harian warga. Namun, dalam diam yang menenangkan itu, sesungguhnya sedang menggantung rasa cemas, rumah-rumah, kebun, makam leluhur, dan sawah produktif mereka akan segera lenyap di balik proyek besar bernama Bendungan Karangnongko.

Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dirancang sebagai solusi jangka panjang atas krisis air dan ketahanan pangan. Namun, bagi warga lima desa di Kabupaten Blora, proyek ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur — ini soal kehilangan segalanya yang mereka punya.

Bacaan Lainnya

“Ladang ini peninggalan bapak saya. Kalau tergusur, saya nggak tahu harus ke mana,” ucap Sumarni (53), warga Desa Nginggil, sembari memandangi sawahnya yang subur. Ia adalah satu dari 538 Kepala Keluarga (KK) yang akan terdampak langsung.

Harga Sebuah Bendungan, 392 Hektare Lahan dan Puluhan Tahun Kehidupan

Berdasarkan data resmi Kantor Pertanahan Blora, proyek ini akan menenggelamkan 392,37 hektare lahan, termasuk tanah masyarakat, tanah kas desa, kawasan hutan milik Perhutani, dan bahkan tanah wakaf.

Setidaknya ada 905 bidang tanah milik warga yang akan dibebaskan. Desa-desa yang terdampak antara lain Ngrawoh, Nginggil, Nglebak, Megeri, dan Mendenrejo. Di Desa Nglebak sendiri, sebanyak 179 KK akan terkena dampak langsung, dengan lebih dari 65 hektare tanah masyarakat yang bakal lenyap.

“Tanah kas desa saja ada yang 7 hektare lebih di satu desa. Bayangkan, itu sumber PAD desa. Kalau hilang, bagaimana pembangunan desa ke depan?” ujar seorang perangkat desa di Megeri.

Pemerintah memastikan bahwa pembebasan lahan akan dilakukan dengan dua skema pembiayaan: ganti rugi oleh Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dan biaya operasional oleh Kementerian PUPR melalui APBN. Namun dalam praktiknya, warga masih banyak yang belum menerima penjelasan rinci soal nominal, metode penilaian, hingga rencana relokasi.

Kepala Seksi Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan Blora, Atikah, mengakui bahwa proses masih berjalan pada tahap inventarisasi dan verifikasi yuridis. “Data bisa saja bertambah seiring kebutuhan teknis di lapangan, misalnya jika ada pembangunan saluran baru,” katanya.

Namun hal itu justru menambah kekhawatiran warga. Pasalnya, banyak warga belum memiliki sertifikat resmi, hanya bukti jual beli turun-temurun. “Kalau nggak punya sertifikat, dihargai rendah atau bahkan nggak dibayar?” keluh warga lainnya di Desa Nglebak.

Antara Kepentingan Negara dan Hak Rakyat

Pemerintah menekankan bahwa pembangunan Bendungan Karangnongko adalah untuk kepentingan jangka panjang bangsa, termasuk menjaga pasokan air bersih, irigasi lahan pertanian, dan mengurangi risiko banjir. Namun di balik semua itu, terdapat realitas yang tak bisa diabaikan: perpindahan besar-besaran warga yang harus meninggalkan tanah kelahirannya.

“Kalau hanya tanah yang hilang, mungkin masih bisa dicari. Tapi bagaimana dengan kenangan, makam leluhur, dan kebiasaan kami di sini?” ujar Sukirno, tokoh warga Nginggil.

Kini, pilihan warga tinggal dua: menerima dan pergi, atau bertahan tanpa kepastian. Sementara alat berat belum terlihat, namun jejak-jejak ketakutan dan rasa kehilangan sudah mulai menebal di tiap sudut desa.

Proyek Bendungan Karangnongko adalah cerminan dari dilema klasik pembangunan: antara kebutuhan negara dan hak warga. Pemerintah pusat dan daerah dituntut tak hanya hadir dalam bentuk regulasi dan dana, tetapi juga dalam bentuk pendampingan sosial, transparansi informasi, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar warga.

Sebab pembangunan sejati bukan hanya soal bangunan berdiri megah, tapi juga soal bagaimana rakyat tidak ditinggalkan di tengah jalan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan