Wayang Terakhir di Ujung Zaman : Jejak Abadi Ki Pasiran dari Blora ke Panggung Dunia

Ki Pasiran bersama wayang krucilnya

Blora,SULAWESION.COM-Dunia boleh berubah, teknologi boleh melesat, tetapi di sebuah desa kecil bernama Dukuh Delok, suara kayu yang bersentuhan masih menggema sebagai penanda bahwa ada jiwa yang menolak dilupakan.

Ia adalah Ki Pasiran—nama yang mungkin terdengar asing bagi algoritma digital, namun menjadi legenda hidup bagi dunia seni tradisi.

Bacaan Lainnya

Hari ini, dalam usia senjanya yang ke-93, Ki Pasiran tetap berdiri tegak sebagai penjaga terakhir wayang krucil, seni pertunjukan kayu datar yang hampir lenyap dari lanskap budaya Indonesia.

Di tengah kemegahan dunia modern, ia memilih bertahan di panggung tanah, di bawah tenda sederhana, menyuarakan kisah-kisah Nusantara dengan suara serak dan tangan yang mulai gemetar.

Satu Jiwa, Seribu Lakon

Wayang krucil bukan hanya panggilan seni, melainkan napas hidup Ki Pasiran. Ia bukan dalang biasa. Ia adalah pengemban misi peradaban. “Kalau bukan saya, siapa lagi?” kalimat itu tak sekadar tanya, tapi juga tantangan—bagi waktu, bagi generasi, bagi negara.

Lahir pada 1948, Ki Pasiran bukan hanya anak cucu dalang. Ia adalah anak dari sebuah era yang perlahan menghilang. Ketika dunia memilih yang cepat dan instan, ia memilih yang dalam dan abadi.

Ia jatuh cinta pada wayang krucil—pertunjukan siang hari yang menceritakan kisah para penyebar Islam dan sejarah lokal, menggunakan boneka kayu pipih yang sarat simbolisme.

Dari Panggung Hajatan ke Festival Internasional

Titik awalnya begitu sederhana: menggantikan dalang yang berhalangan di hajatan keponakan tahun 1977. Tapi dari situlah sejarah dibentuk. Tanpa pelatihan formal, hanya dengan ketekunan dan cinta, ia menjelajahi desa demi desa, menenteng peralatan pinjaman, hingga akhirnya mampu memiliki perangkat sendiri pada 2015.

Namun, dunia mulai mendengarnya. Pada 2023, ia tampil di Festival Wayang Internasional di Bali, memukau delegasi dari 34 negara. Seorang pria renta dari Blora memperkenalkan wayang krucil ke dunia—sebuah sejarah yang bahkan tak sempat ditulis oleh banyak orang.

Isnamukti: Sanggar, Harapan, dan Warisan

Di rumahnya berdiri sanggar kecil bernama Isnamukti, dinamai dari cucu yang ia harapkan menjadi pewaris. Dua cucunya, Isnawati dan Dwi Eli, perlahan menyerap ilmu yang tak diajarkan di sekolah: menjadi dalang bukan hanya soal teknik, tapi tentang merawat jiwa bangsa.

Meski muridnya masih bisa dihitung dengan jari, Ki Pasiran tidak pernah berhenti mengajar. “Warisan ini bukan untuk saya. Tapi untuk kalian yang belum lahir,” katanya suatu sore, menatap wayang-wayangnya dengan mata yang tak lagi tajam, namun menyala oleh tekad.

Seruan yang Tak Boleh Diabaikan

Kini, setelah lebih dari setengah abad menghidupi seni warisan ini, Ki Pasiran hanya punya satu permintaan: agar wayang krucil diakui, dilestarikan, dan diajarkan. Bukan hanya sebagai tontonan, tapi sebagai pelajaran karakter, sejarah, dan filosofi bangsa.

Pemerintah telah mulai membuka mata, menghadirkan wayang krucil dalam Hari Jadi Blora dan program budaya lokal. Tapi baginya, itu belum cukup. “Kalau semua hanya menonton, siapa yang akan melanjutkan?” tanyanya lirih.

Antara Akhir dan Awal

Kini, di ujung hayatnya, Ki Pasiran bukan hanya mengenang—ia sedang mencatat. Mencatat untuk masa depan yang mungkin tak lagi mengenalnya, tapi akan mewarisi semangatnya. Tubuhnya mungkin melemah, tapi setiap lakon yang ia mainkan adalah perlawanan terhadap lupa.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah bangsa ini siap melanjutkan kisah yang ia pertahankan seumur hidup? Atau akankah kita membiarkan wayang krucil lenyap bersama napas terakhir dalang terakhirnya?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan