Merefleksikan Partisipasi Aktif Mahasiswa dalam Kontestasi Pilkada Sulut 2024

Rio Wahyudi Van Gobel, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado

Opini oleh: Rio Wahyudi Van Gobel, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado

Catatan Sederhana Mahasiswa

Bacaan Lainnya

MANADO, SULAWESION.COM – Pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai bagian penting dalam sebuah perhelatan demokrasi bangsa, untuk mencari estafet kepemimpinan selanjutnya. Tentu sering menjadi bulan-bulanan topik yang sering bergulir di meja kopi maupun tongkrongan tengah malam, dikalangan anak muda dan bapak-bapak komplek.

Pengaruh pilkada mulai dari sebelum, pada saat tahapan dan sesudahnya sangat melekat dengan masyarakat. Tentu ini membuat gairah untuk terlibat di pilkada 2024 ini menjadi perhatian, terlebih khusus bagi kalangan mahasiswa sebagai insan akademis, yang seharusnya jadi patron bagi pemuda di sekitarnya.

Seperti pemilu pada umumnya, di setiap pemilihan baik itu kepala negara maupun kepala daerah, mengenai hal-hal mengganjal acapkali menghantui yang ujung-ujungnya korban paling besar berjatuhan adalah masyarakat biasa.

Pada umumnya, mereka memiliki daya literasi mengenai isu pemilu atau pilkada yang begitu kurang. Kita sebut saja mengenai isu money politics, masih dianggap tabu di masyarakat.

Bahkan di kalangan masyarakat, memang sudah sewajarnya kalau pasangan calon harus merogoh biaya politik yang luar biasa banyak untuk menyuap kepada masyarakat, padahal mereka tidak tahu intrik itulah merupakan awal dari jurang yang menjerumuskan.

Maka sudah barang tentu, mahasiswa yang sudah dibekali pengalaman, wawasan dan pengetahuan yang didasarkan pada semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian pada Masyarakat, bisa mengambil langkah-langkah konkret dalam melakukan pencegahan untuk meminimalisir kekhawatiran yang sudah disinggung di awal.

Mahasiswa sebagai Agent of Changes dan Agent of Social Control, tentu dalam mewujudkan hal itu sudah selayaknya menjadi pembeda dengan mahasiswa kebanyakan, yang hanya sekadar memilih atau bahkan baru tergerak untuk memilih ketika ada paslon yang memberi imbalan. Kalau istilah kata: “Ada Uang Ada Suara”.

Suara yang dimiliki oleh tiap warga negara sudah dijamin oleh konstitusi dan sudah selayaknya dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya, sebaik-baiknya tanpa dibodoh-bodohi oleh pihak tertentu saja.

Peran mahasiswa dalam hal ini penting, karena mereka masih bisa membaca keadaaan secara objektif dan konstruktif, serta memiliki kemampuan baik secara fisik maupun batin masih bisa dikatakan “fresh”.

Karena mahasiswa masih tergolong usia yang produktif. Yang hal ini akan sangat merugikan, jika keunggulan tersebut malah tergerus akan kepentingan elitis politik belaka.

Bentuk-bentuk konkret mitigasi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa, bisa dalam hal terlibat di beberapa sosialisasi pemilu dan pilkada yang diselenggarakan oleh stakeholder yaitu KPU, Bawaslu, kampus, maupun instansi lainnya.

Kemudian mahasiswa dapat terlibat sebagai badan adhoc penyelenggara ataupun pengawas pemilu dan pilkada, seperti menjadi anggota PPK di kecamatan, PPS di kelurahan, pantarlih, KPPS, pengawas TPS, dan bagian pemantau pemilu.

Serta selain itu, bagaimana mahasiswa bisa mengajak ke lingkungan terdekat dalam hal ini teman, sahabat, kerabat maupun keluarga untuk sama-sama memiliki kesadaran.

Setidaknya mahasiswa bisa memahami, bahwa dalam proses demokrasi kali ini, penting untuk menyuarakan untuk anti money politics dan penting juga mengecek track record, serta visi misi calon agar tidak salah pilih. Karena peningkatan kualitas pemilih yang lebih baik itu, menjadi indikator penting dalam kemajuan demokrasi suatu bangsa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *