Oleh: Guesman Laeta*
“Alhamdulillah…” ucap saya membaca pesan via WA dari teman soal rencana peletakan batu pertama pembangunan kampus Univesitas Dumoga Kotamobagu (UDK).
Apalagi lokasi tak jauh dari kediaman kami di Poyowa Besar. Niatnya memang harus hadir dan menyaksikan momen itu sebagai alumni.
Tahun 2000 saya masuk sebagai mahasiswa baru UDK. Tahun itu akhir namanya Ospek (perpeloncoan maba). Walau tahun-tahun sesudahnya berganti nama, tapi hanya ganti kulit saja.
Papan nama masih tertulis “Universitas Dumoga Bone” yang mengartikan kampus itu belum lama berganti nama UDK. Atapnya masih genteng. Berganti setiap angkatan KKN dengan seng bercat biru sesuai warna almamater dan slogan kampus biru.
Foto Menristek Bj Habibie saat mengunjungi kampus itu terpajang besar di salah satu dinding kampus. Sebagai pengakuan UDK juga pernah dikunjungi orang terpintar Indonesia.
Tahun itu juga UDK bukan lagi perguruan tinggi satu-satunya di Kabupaten Bolaang Mongondow sebelum mekar menjadi lima kabupaten/kota. Muncul sekolah tinggi. Salah satunya dipelopori oleh dosen favorite saya Almarhum Roy Lasabuda.
Saat itu, angkatan kami cukup banyak. Fakultas Kehutanan dan Pertanian banyak mahasiswanya dari berbagai wilayah di Indonesia Timur. Fakultas Ekonomi jadi favorite PNS, pegawai BUMN bahkan banyak angkatan saya dari anggota polri.
Menariknya, meski banyak PNS kala itu, tidak ada istilah kelas ekstensi. Semua sama rata, kelas reguler.
Meski bermunculan sekolah tinggi lainnya, tapi UDK masih jadi pilihan favorite sebagai kampus ternama. Tak sedikit mahasiswa dari perguruan tinggi kenamaan di Sulut memilih kembali kuliah di UDK.
Kemelut yayasan yang menaungi UDK saat itu mulai terjadi. Aromanya baru saya rasakan di tahun-tahun terakhir perkuliahan. Muncullah UDK versi lain. Banyak mahasiswa ikut terseseret dualiasme. Secara detilnya saya tidak tuliskan untuk menghindari kesalahan informasi: intinya konflik.
Setelah saya status alumni UDK, bibit konflik semakin besar. Bahkan muncul kampus saingan. Dari situlah, kepercayaan publik terhadap UDK menurun. Banyak mahasiswa pindah ke kampus lain.
Anehnya, sejumlah perguruan dan sekolah tinggi mengikuti jejak konflik UDK. Banyak mahasiswa berstatus qou. Trauma kuliah di daerah. Bahkan banyak diantaranya berhenti di tengah jalan.
Kepercayaan masyarakat BMR turun drastis terhadap kampus di BMR. Mereka memilih kuliah di luar daerah. Meski harus keluarkan uang lebih besar. “Bukan hanya soal materi, tapi masalah pengobanan waktu yang sia-sia,” begitu kira-kira ungkapan mahasiswa yang jadi korban konflik.
Secara khusus saya pernah mengangkat masalah ini dalam laporan khusus di Koran Cetak Radar Bolmong. Prediksi kami kampus-kampus di BMR akan ditinggalkan oleh masyarakat BMR karena imbas konflik yayasan.
Ancaman besar ini tentu disadari oleh yayasan, akademisi dan pemerintah. Khusus UDK konflik ini akhirnya ditengahi oleh pemerintah. Tapi “luka trauma” masyarakat belum pulih sepenuhnya.
Sejumlah rektor UDK yang saya ikuti perkembangannya melakukan berbagai upaya gebrakan untuk membangun kepercayaan publik. Termasuk kampus-kampus lain yang merasakan konflik kepentingan yayasan.
Alumni pun demikian cenderung apatis. Selain tidak terlibat juga tidak dilibatkan. Rasa emosional ke almamaternya pudar. Wadah resmi alumni bahkan tidak pernah ada sejak UDK berdiri. Yang ada hanya grup WA seangkatan, se bestie, se geng.
Pada peletakan batu pertama kampus UDK, otokritik Pj Wali Kota Kotamobagu Asripan Nani menuangkan keresahannya terhadap dunia pendidikan di BMR dan lebih khusus keresehannya terhadap UDK yang selama 35 tahun hanya “ngekos”.
Wali Kota tak memungkiri untuk meningkatkan trend Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di BMR rata-rata di urutan buncit, salah satunya melalui dunia pendidikan. Cerita Jepang bangkit pasca bom hirosima karen pendidikan sebagai penggalan ilustrasinya.
Saya menaruh hormat kepada rektor-rektor sebelumnya, yang telah menyelamatkan UDK dari jurang “diskualifikasi” sebagai universitas. Kini lokomotif dipegang oleh Rektor baru UDK Dr Muharto yang berada pada posisi transisi menjadi Univesitas Bolaang Mongondow Raya (UBMR).
Sebagai alumni tentu punya tanggunjawab moral terhadap kampus biru. Berharap UDK benar-benar bangun dari tidur panjangnya mewujudkan mimpinya sebagaimana penggalan Mars UDK: sebagai pusat pendidikan putra putri Indonesia. Jayalah UDK. #
)* Alumni UDK