Eva Bande: Lahan Pertanian Di Indonesia Menyusut, Ini Ancaman Bagi Petani

Aktivis Agraria, Eva Bande

PALU, SULAWESION.COM – Aktivis agraria Sulawesi Tengah (Sulteng) Eva Bande menyoroti lahan pertanian Indonesia yang setiap tahunnya mengalami penyusutan.

“Ini ancaman besar bagi dunia pertanian,” kata Eva, dalam diskusi, usai nonton bersama film dokumenter ekspedisi Indonesia baru “Silat Tani ” yang diselenggarakan AJI Palu bertempat di Nemu Buku, Jalan Tanjung Tururuka, Sabtu (15/10/2022) malam.

Bacaan Lainnya

Menurutnya data BPS, penyusutan luas lahan pertanian itu tidak main-main, hasil riset ikatan mahasiswa perencanaan, Indonesia mengalami penyusutan seluas 668.145 hektare.

kata Eva, data BPS Sulteng 2013- 2015 bila dilihat rentang waktunya 2013 luas sawah 146.721 Ha, terus mengalami penyusutan hingga 2015 seluas 126 Ha.

Disandingkan data wahana lingkungan hidup (WALHI) menurut Eva , dari luas daratan Sulteng 6,533 juta ha , lalu pemerintah menerbitkan izin usaha pertambangan 1.889 juta ha atau 39 persen , perkebunan sawit 11, 14 persen atau 700 ha kawasan hutan 4 juta, maka justru lahan Sulteng defisit 126.000 hektar.

“Masa depan pertanian Sulteng ngeri,” kata peraih Yap Thiam Hien Award (YTHA) 2018 ini.

Ini artinya kata dia, petani-petani kita masih dalam kawasan klaim hutan negara, sehingga area garapan masyarakat dalam klaim hutan negara, tidak dianggap sebagai kawasan pertanian.

BACA JUGA: FRAS: Tim Pemprov Sulteng Membuat Keputusan Tanpa Melibatkan Petani yang Berkonflik dengan PT ANA

“Intevensi negara lewat program tidak akan terjadi, sebab masih dalam status hutan negara,” ucap Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng tersebut.

Ia mengatakan, data BPS 0,3 persen petani kita memiliki pendidikan rendah dan rata-rata berumur 40 tahun ke atas.

“Lalu dimana mahasiswa pertanian ribuan tahun itu,” tanya Eva. Jawabnya, Ia disedot sektor lain tidak kembali ke kampungnya.

BACA JUGA: Demo Petani Morut, Tuntut Pemerintah Selesaikan Konflik Agraria

Eva juga menyoroti panjangnya distribusi pangan petani mulai dari penadah, penggilingan, pasar induk, jatuhnya ke konsumen mahal.

” Maka mata rantai distribusinya harus diputus, mendekatkan produsen dengan konsumen,” tutupnya.

Samsir | Guesman Laeta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *