Aksi demonstrasi para penyandang disabilitas di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Kota Manado, Senin, 4 Desember 2023. (Foto: Adi Sururama)
MANADO, SULAWESION.COM – Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara Flora Krisen menerima langsung aksi demonstrasi para penyandang disabilitas di Lobby Kantor Gubernur, Kota Manado, Senin (4/12/2023).
“Saya mewakili Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Pak Gubernur Olly Dondokambey, Pak Wakil Gubernur Steven Kandouw menerima bapak ibu. Kalau berkaitan dengan regulasi, produk hukum daerah, biro hukum yang memfasilitasi terkait itu,” ucap Flora.
Ia menuturkan sekitar tahun 2021 Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah mengeluarkan Perda Nomor 8 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas.
“Di daerah manapun belum ada perda semacam itu dan hanya ada di Sulawesi Utara,” tutur Flora.
Perda tersebut membahas terkait perlindungan dan pemberdayaan terhadap penyandang disabilitas yang disebutkan dalam satu item tentang Tenaga Kerja. Perintahnya nanti akan diterbitkan melalui peraturan gubernur.
“Ini sementara dalam penyusunan,” tambah Flora.
Ia kemudian mengucapkan terima kasih atas sejumlah masukan yang sudah disampaikan, hal ini kemudian akan menjadi bahasan dalam penyusunan pergub.
“Kami akan mendiskusikan dengan teman teman yang menjadi tugasnya dalam peraturan disabilitas ini,” ucap Flora.
Aksi demonstrasi yang dilakukan para penyandang disabilitas merupakan refleksi di Hari Disabilitas Internasional yang jatuh tiap tanggal 3 Desember 2023, mengusung tema “Bersatu dalam Aksi Menyelamatkan dan Mencapai SDGs bagi, dengan dan oleh Penyandang Disabilitas” dengan tagar No One Left Behind.
Pada Peringatan Hari Disabilitas Internasional, mereka menuntut tiga poin di antaranya, pertama Penerbitan Peraturan Daerah (perda) Provinsi Sulawesi Utara Nomor 8 Tahun 2021 mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas.
Sebab mereka menilai partisipasi dalam perda tersebut masih sangat minim sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak memuat seluruh kebutuhan penyandang disabilitas, khususnya di Provinsi Sulawesi Utara. Untuk itu perlunya dorongan untuk pembuatan peraturan gubernur (pergub) agar menemui kepastian hukum.
Kedua, mendorong untuk pembuatan pergub yang berkaitan dengan Perda Disabilitas, khususnya beberapa poin yang dianggap menjadi urgensi dalam kehidupan penyandang disabilitas.
Ketiga menghapus pelabelan negatif dan diskriminasi, khususnya penyandang disabilitas dalam dunia kerja, misalnya pekerja pija, pedagang di Pasar 45 dan sekitarnya dan lain-lain.
“Pemerintah belum pro terhadap kelompok disabilitas, kami menuntut Pemerintah Provinsi Daerah Sulawesi Utara atas pemenuhan hak hak yang belum dipenuhi. Hak pendidikan, hak bekerja belum diakomodir oleh pemerintah tentang mempunyai pekerjaan yang layak,” ucap salah satu orator.
Padahal menurut mereka Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2008.
Kemudian Indonesia meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 2011 melalui Undang Undang Nomor 19 Tahun 2011, lalu lahirlah Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dari situ mulai lahir produk-produk hukum mengenai perlindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas, termasuk perda dan pergub.
Namun meski telah lahir produk hukum di tingkat nasional dan daerah tapi masih saja terdapat pelabelan negatif juga diskriminasi yang dialami oleh penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, pengaturan teknis mengenai penjabaran undang undang penyandang disabilitas tidak menemui kejelasan. Kepastian hukum ini yang sangat sering membuat undang undang tidak berjalan secara maksimal atau mengalami kendala.
Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Chenny Wahani yang juga anggota Jaringan Masyarakat Peduli Penyandang Disabilitas mengungkapkan sejauh ini pemerintah terkesan tutup mata atas pemenuhan hak-hak mereka, terutama perempuan.
“Kami adalah masyarakat Sulawesi Utara yang membawa aspirasi yang sampai saat ini belum merasakan aksesibilitas yang layak. Perempuan disabilitas masih banyak merasakan kekerasan yang ada tapi pemerintah masih menutup mata kepada kami. Ini adalah diskriminasi bagi kami,” ungkap Chenny.
“Stereotip yang selalu dibenarkan oleh masyarakat dan pemerintah yang tidak menganggap kami rakyat Sulawesi Utara,” sambungnya.
Meskipun sudah hampir memasuki tahun politik di 2024, namun aksi demonstrasi para penyandang disabilitas sama sekali tidak ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini murni atas keresahan yang mereka alami sekian tahun lamanya.
Demonstrasi para penyandang disabilitas turut mendorong dan mengembangkan wawasan masyarakat tentang kehidupan mereka. Diskriminasi yang dialami para penyandang disabilitas dikarenakan stigma masyarakat yang masih bermasalah.