SITARO, SULAWESION.COM– Indeks Efektivitas Pengendalian Korupsi (IEPK) Kabupaten Kepulauan Sitaro kini berada pada angka 2,616 per tahun 2023.
Untuk menjadi daerah dengan tingkat pencegahan penanganan korupsi yang baik melalui penilaian IEPK, Kabupaten Kepulauan Sitaro setidaknya wajib mendapat angka 3,000 atau level tiga.
Hal inilah yang terus didorong oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Utara dalam kaitan upaya pencegahan korupsi.
Untuk diketahui, terdapat tiga sub atau parameter yang menjadi penilaian yakni, kapabilitas pengelolaan risiko korupsi di dalamnya ada dua poin yang belum mencapai poin 3,000 yakni power dan pembelajaran anti korupsi masing-masing mendapat poin 2,000.
Sedangkan penerapan strategi pencegahan pada poin saluran pelaporan internal yang efektif dan kredibel diperoleh poin 1,000 dan prinsip iklim etis 2,000 dari sasaran keduanya 3,000 dan integritas organisasional 3,000 dari target 4,000.
Selanjutnya ada penanganan kejadian korupsi, investigasi dan penanganan korektif semuanya mencapai target poin 3,000.
“IEPK adalah indeks atau indikator terjadinya korupsi. Jika ada nilai di atas tiga lebih baik, level ini menunjukkan di Pemerintah daerah sudah memasang perangkat pencegahan korupsi,” kata Pengendali Teknis BPKP Sulut, Yan Maruru akhir Januari lalu.
Ketua Tim Bimtek Priscilya Gosal menjelaskan, untuk penilainya dilakukan setiap tahun, dengan periode penilaian misalnya untuk tahun 2023 dimulai pada Juli 2023 sampai Juni 2024 untuk periode yang dinilai.
“Sementara penilainnya dimulai pada Juli 2024 sampai Desember 2024. Di Desember ini biasanya ada panel yang dilaksanakan BPKP pusat,” ucapnya.
Memang untuk IEPK pada tahun 2023 baru dua daerah yang mencapai level tiga yakni pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara dan Bolaang Mongondow Selatan.
“Kami BPKP saat ini turun serentak di beberapa kabupaten dan kota, diharapkan IEPK bisa mencapai poin tiga mengikuti dua kabupaten lain,” beber Priscilya.
Berdasarkan pengalamannya, penyebab sebuah daerah belum bisa mencapai level tiga itu karena belum adanya peraturan.
Misalnya kata dia, penggunaan aplikasi Whistleblowing System (WBS), diterapkan tanpa pertaruan terlebih dahulu sebagai dasar pelaksanannya.
“Membuat peraturan bupati kan biasanya agak lama, nah jika evaluatornya turun ternyata aturannya belum selesai, itu yang jadi kendala meski sudah memiliki WBS itu,” urai Priscilya.
Ia juga menyampaikan dokumentasi terkait penggunaan WBS tapi ternyata laporannya tidak secara berkala, sehingga meski dilaporkan sudah dilaksanakan namun tidak ada dokumentasi yang membuktikannya.
“Semua SKPD itu di dorong, percuma misalnya dari Inspektorat sudah berusaha membuat sampai aturan tetapi tidak didukung SKPD lainnya,” ujarnya.
“Kan di Inspektorat sudah ada Pokja maka mereka yang melakukan kajian kajian dalam rangka peningkatan IEPK, nah usulan perbaikan inilah diharapkan dari Pokja ke seluruh SKPD yang ada, dan SKPD ini menindaklanjuti dan mudah mudahan melaksanakannya, sehingga pada tahun penilakan bisa sampai pada level yang diharapkan,” harapnya.