BOLMUT,SULAWESION.COM– Pagi tadi sekitar pukul 09.15 WITA saya berkunjung ke sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Negeri Tuwokona, Binjeita II, Kecamatan Bolangitang Timur. Sekolah ini sangat dekat dengan PLTU Sulut 1 Binjeita.
Tiba di sekolah, saya melihat anak-anak sudah persiapan pulang. Ada yang dijemput orang tua. Tak berselang lama saya menyapa seorang guru TK Negeri Tuwokona, Binjeita II. Ibu Evi Pantas namanya.
Setelah memperkenalkan diri, saya dipersilahkan masuk ke kelas. Terlihat kelas sudah teratur setelah anak-anak pulang sekolah.
Kata Evi, siswa di sekolahnya ada enam orang. Ia berbagi cerita soal bagaimana dirinya rutin membersihkan sekolah dan kelas dari debu batu bara.
Sembari bercerita, Evi mengajak saya ke salah satu bangunan yang juga merupakan kelas.
“Dulunya siswa disini. Tapi kemudian mereka pindah lagi ke bangunan lama. Karena beberapa bulan ini debu batu bara selalu masuk di ruangan ini,”katanya, Senin 1 Desember 2025.
Sambil menjelaskan soal debu batu bara. Evi sesekali menunjukan bagaimana debu tersebut berada di tempat permainan anak. Ia pun memperlihatkan dengan tangannya bagaimana debu batu bara.

Hampir setiap hari sekolah, dirinya membersihkan lantai sekolah dengan menggunakan air dan pel lantai. Bahkan air pel tersebut berubah menjadi hitam.
“Saya khawatir soal kebersihan. Dan kesehatan apalagi kasihan anak-anak sekolah,”ujarnya.
Menurut Evi, ada salah satu siswa yang beberapa kali terkena batuk dan demam. Ia pun belum mengetahui apa penyebabnya. Walau begitu dirinya khawatir soal dampak debu batu bara pada anak-anak.
“Mereka kan sering bermain. Selain itu ada juga yang sering membawa makanan dari rumah,”jelasnya.
Ia menambahkan beberapa hari ini sering hujan. Tapi jika tidak hujan bisa terlihat lebih jelas lagi.

Disamping TK ada sekolah Pendidikan Usia Dini (Paud) KB Theodora. Tampak para guru sedang membersihkan lantai yang terlihat debu berwarna hitam.
“Sudah tiga kali dibersihkan. Air pelnya tetap berwarna hitam,”kata seorang guru Paud yang menyebut siswanya ada 25 orang.
Fenomena debu batu bara di desa Binjeita II diakui oleh Kepala desanya Ibrahim Coloay.
Sebelumnya Carya Maharja, psikolog lingkungan dari Puspa Hanuman mengatakan PLTU akan memiliki dampak, tapi dampak seperti apa itu perlu penelusuran lebih lanjut dengan masyarakat, akademisi, masyarakat sipil dan industri itu sendiri.

“Tentu saja karena kita bicara sistem sosial-ekologis, proyek PLTU ini akan memiliki dampak sosial dengan bermacam skala, mulai dari lokal, regional, nasional, hingga internasional,”katanya.
Dampak ini akan memberikan efek feedback kepada lingkungan yang akan bergulir terus dalam hubungan dua arah antara manusia dan lingkungan.
“Jadi ketika bicara dampak sosial dari PLTU tidak bisa dipisahkan dari dampak lingkungan,”ujar Carya yang saat ini sedang menempuh studi S3 di Inggris.
Baginya penting mempertahankan tradisi namun semua pihak tak boleh naif. Perlu upaya adaptasi yang disokong dukungan pihak-pihak yang berkuasa, seperti pemerintah untuk memastikan adaptasi ini tidak merugikan kesejahteraan manusia dan kesehatan lingkungan.
Sementara itu dilansir dari Yayasan Indonesia Cerah proses pembakaran batu bara untuk menghasilkan energi menghasilkan emisi berbagai zat berbahaya, termasuk sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat, dan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2).
Emisi ini menyebabkan peningkatan polusi udara yang dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan secara keseluruhan.
Selanjutnya Paparan polutan yang dihasilkan dari pembakaran batu bara memiliki dampak serius pada kesehatan manusia.
Partikel-partikel kecil yang terhirup dapat menyebabkan gangguan pernapasan, penyakit jantung, dan bahkan kematian.
Peningkatan polusi udara juga dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan kronis seperti asma dan bronkitis.







