BOLMUT,SULAWESION.COM- Beberapa bulan terakhir di tahun 2025 warga pesisir Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) merasakan dampak abrasi dan banjir pesisir yang berbeda dalam beberapa tahun terakhir.
Disaat bersamaan berdasarkan hasil analisa citra satelit yang dilakukan oleh tim pakar penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Bolmut telah kehilangan luasan hutan mangrove mencapai 61,94 Hektar (Ha) dalam beberapa tahun terakhir.
“Bagian terparah Bintauna, Sangkub dan Bolangitang Timur,”ujar Aswar Anas, ahli Geospasial lembaga pengabdian penelitian dan pengembangan Unhas Makassar.
Menurutnya saat melakukan survey, beberapa lokasi ditemukan telah melakukan penebangan di tengah mangrove.
Dirinya juga mengapresiasi wilayah Pinogaluman yang dari tahun 2020 sampai sekarang mangrovenya stabil.
Terkait mangrove ia memberikan catatan pada dasarnya masyarakat menebang mangrove itu sesuai kebutuhannya.
Mungkin bertambahnya penduduk atau kebutuhan lainnya sehingga memaksa untuk mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak dan perkebunan atau bahkan pemukiman.
Tapi tak jarang juga yang dijadikan lahan industri untuk beberapa perusahaan tertentu.
“Sayangnya, tidak ada inisiatif untuk memberikan sanksi. Sanksi ringan saja, yaitu mereka berkewajiban untuk menanam mangrove seluas dengan lahan yang telah mereka konversi,”kata Aswar.
Bagaimana Dengan Kenaikan Muka Air Laut di Bolmut?
Aswar Anas mengungkapkan grafik fluktuasi pasang surut ekstrem harian tahun 2020 sampai 2025, pola pasang surutnya sebenarnya relatif konsisten.
“Yaitu bertipe semi-diurnal dengan naik–turun yang berulang sepanjang tahun. Namun, yang menarik adalah perubahan pada besar kecilnya amplitudo,”katanya.
Pada tahun-tahun awal (2020–2022), tinggi pasang maksimum masih cenderung stabil. Memasuki periode 2023 hingga 2025, puncak pasang terlihat lebih sering mencapai nilai yang lebih tinggi, sementara surut minimumnya juga semakin dalam.

Ini mengindikasikan bahwa rentang pasang surut di lokasi ini mulai membesar. Selain itu, meskipun tidak terlihat lonjakan ekstrem yang tiba-tiba, posisi muka air laut secara keseluruhan tampak sedikit bergeser ke arah yang lebih tinggi pada tahun-tahun terakhir.
Pergeseran ini sejalan dengan indikasi kenaikan muka air laut secara bertahap. Dalam kondisi seperti ini, pasang maksimum yang sebelumnya masih “aman” bisa berubah menjadi pasang ekstrem.
“Terutama ketika bertepatan dengan fase bulan tertentu atau dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan gelombang,”katanya.
Kondisi tersebut menjadi lebih penting untuk diperhatikan karena wilayah ini memiliki ekosistem mangrove yang sudah terdegradasi cukup luas.
Mangrove yang masih utuh biasanya berperan sebagai peredam alami energi pasang dan penjaga kestabilan sedimen pesisir.
“Ketika mangrove berkurang, energi pasang tidak lagi teredam dengan baik, sehingga fluktuasi pasang yang semakin besar akan langsung berdampak ke daratan pesisir,”ungkap Aswar.
Dampak yang paling mungkin dirasakan adalah meningkatnya kejadian banjir pesisir atau rob. Pasang maksimum yang semakin tinggi dan sering dapat menyebabkan genangan berulang, terutama di area rendah dan bekas sebaran mangrove.

“Selain itu, kondisi ini juga berpotensi mempercepat erosi pantai dan memperluas intrusi air laut ke daratan, yang pada jangka panjang dapat memperburuk kondisi lingkungan dan mengganggu aktivitas masyarakat pesisir,”jelasnya.
Walupun demikian, kata anas faktor lain juga banyak. Selain dari eksostim mangrove itu sendiri, yang mungkin perlu dikaji lebih mendalam.
Seperti topografi bawah lautnya seperti apa, anomali laut 10-20 tahun lalu seperti apa dan sebagainya. Ini memang butuh kajian yang komprehensif dan panjang.
“Tapi untuk saat ini ya eksostim mangrove itu yang menjadi perhatian, karena Sumatera tenggelam gara-gara penebangan pohon yang masif dan bersamaan itu saat hujan datang tidak ada lagi yang menopangnya,”katanya.
Ditanya tentang kenaikan muka air laut, Aswar menuturkan jika dirata-ratakan dalam rentan lima tahun ada kenaikan mencapai 30-50 cm atau sekitar 0,5 amplitudo.







