BLORA,SULAWESION.COM- Dari kejauhan, langit malam di atas perbukitan Desa Bangsri tampak berpendar. Ratusan lampion melayang perlahan, membentuk gugusan cahaya yang memantul di langit hitam.
Udara malam terasa hangat, bukan karena suhu, tetapi karena kebahagiaan yang terpancar dari ribuan wajah yang memadati kawasan Noyo Gimbal View.
Inilah suasana Festival Lampion #2 Noyo Gimbal View 2025, Sabtu malam (4/10). Sebuah pesta cahaya yang tak hanya mempercantik langit Blora, tetapi juga menyalakan harapan baru bagi pariwisata dan ekonomi kreatif di wilayah timur Jawa Tengah itu.
“Lampion bukan sekadar hiasan bercahaya, tetapi simbol harapan. Harapan agar Noyo Gimbal terus berkembang, maju, dan memberi manfaat bagi masyarakat Blora,” ujar Bupati Blora, Arief Rohman, saat membuka acara tersebut.
Festival Lampion Noyo Gimbal kini menjadi agenda yang ditunggu-tunggu masyarakat. Setelah sukses di tahun pertamanya, gelaran kedua ini semakin meriah.
Pengunjung tak hanya datang dari Blora, tetapi juga dari kabupaten sekitar seperti Rembang, Pati, dan Grobogan.
Di antara sorak gembira dan bunyi musik keroncong yang mengalun pelan, para pengunjung melepaskan lampion satu per satu. Setiap lampion membawa secarik doa, harapan, dan impian untuk masa depan.
Menurut Yananta Laga Kusuma, Kepala Desa Bangsri, festival ini berawal dari tekad masyarakat setempat untuk memperkenalkan potensi wisata lokal berbasis budaya dan alam.
“Sejak berdiri pada 2023, Noyo Gimbal View kami kembangkan dengan semangat gotong royong. Festival lampion ini jadi cara kami memperkenalkan Blora ke dunia luar,” ujar Yananta.
Pihaknya mengaku terus melakukan pembenahan dan inovasi agar Noyo Gimbal View tak sekadar tempat wisata alam, tapi juga menjadi ruang ekspresi budaya dan kreativitas masyarakat.
Selain pelepasan ratusan lampion, festival juga diramaikan oleh pertunjukan seni tradisional seperti barongan Blora, keroncong pembatas, dan penampilan komunitas pemuda lokal. Di antara denting musik dan sorak penonton, semangat kebersamaan terasa begitu kental.
Bagi sebagian pengunjung, acara ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
“Jarang sekali ada acara seindah ini di Blora. Lampion-lampionnya bikin suasana romantis dan tenang,” tutur Septiana (25), wisatawan asal Cepu, yang datang bersama teman-temannya.
Cahaya lampion-lampion itu melayang tinggi, menembus kabut tipis perbukitan Bangsri, menciptakan panorama yang seolah memadukan magisnya alam dan hangatnya budaya lokal.
Bupati Arief Rohman menilai, kegiatan semacam ini menjadi momentum penting dalam upaya penguatan ekonomi lokal.
“Festival seperti ini bukan hanya hiburan, tapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat. Ada pedagang, seniman, pelaku UMKM, dan komunitas muda yang terlibat langsung. Inilah wajah baru Blora-kreatif dan berdaya saing,” ungkapnya.
Arief juga berharap kegiatan serupa bisa menular ke desa-desa lain di Blora.
“Kita ingin membangun ekosistem pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Dari desa, untuk Blora, dan untuk Indonesia,” tambahnya.
Ketika malam semakin larut dan angin perbukitan mulai berhembus lembut, ratusan lampion itu terus melayang, perlahan memudar di cakrawala. Namun, bagi masyarakat Bangsri, cahaya-cahaya itu tak benar-benar padam.
Ia menjadi simbol harapan tentang masa depan yang cerah, tentang Blora yang terus tumbuh, dan tentang semangat warga yang tak pernah padam.
Dari atas bukit Noyo Gimbal View, cahaya lampion malam itu bukan hanya menerangi langit, tapi juga hati setiap orang yang memandanginya.
Blora kini tak lagi hanya dikenal dengan tanah kayunya, tetapi juga dengan lautan cahaya yang menandai lahirnya destinasi wisata baru di Jawa Tengah.







