Peta Rentan Perubahan Iklim: Bolangitang II Kategori Merah di Sulut

Desa Bolangitang II Mengalami Ancaman Serius Terkait Dampak Abrasi. Potret rumah warga yang berada di desa Bolangitang II Terancam Abrasi. (Foto kiriman Dinas PUTR Bolmut)

BOLMUT,SULAWESION.COM- Desa Bolangitang II, Kecamatan Bolangitang Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) masuk 10 desa di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang rentan akibat dari perubahan iklim.

Hal ini berdasarkan peta Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah (BPPIKHL) wilayah Sulawesi tahun 2018.

Bacaan Lainnya

Dalam penjelasan BPPIKHL wilayah Sulawesi perubahan iklim memiliki dampak yang cukup jelas pada beberapa daerah di Indonesia salah satunya pada wilayah Sulawesi.

Dampak dari perubahan iklim tersebut dapat berupa terjadinya beberapa bencana alam yaitu longsor, banjir, kenaikan air laut, kekeringan.

Pemetaan daerah rentan perubahan iklim ini dapat menjadi acuan untuk instansi agar dapat memfokuskan pada daerah/desa dengan tingkat kerentanan yang tinggi.

Peta Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah (BPPIKHL) wilayah Sulawesi tahun 2018. (Dok BPPIKHL Sulawesi)

Selain itu, pemilihan aksi untuk adaptasi dan atau mitigasi pada daerah tersebut dapat menjadi lebih efektif dengan melihat informasi pemetaan daerah kerentanan yang sudah disajikan diatas agar aksi adaptasi dan atau mitigasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Kini warga desa Bolangitang II menghadapi masalah serius dari dampak abrasi pantai. Perkebunan sudah hilang. Termasuk tanaman kelapa. Rumah-rumah terancam. Hingga saat ini mereka membuat tanggul darurat dari karung yang berisi pasir.

Sementara itu Sekretaris dinas PUTR Bolmut Syaiful Rizal Samsudin mengatakan terkait kunjungan ke pesisir pantai Bolangitang II dimana ditemukan abrasi Bolangitang II telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

“Mengancam pemukiman warga, fasilitas publik, dan lahan pertanian/perkebunan di tepi pantai. Kerusakan garis pantai telah terlihat jelas dan membutuhkan intervensi segera,”katanya saat dihubungi media ini.

Prioritas intervensi fisik: Desa Bolangitang II dan beberapa desa pesisir yang terancam abrasi pantai di Bolmut ditetapkan sebagai zona prioritas I penanganan abrasi.

Saat ini Pemda telah berkoordinasi dengan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) I dan akan segera melakukan audience dengan pihak BWS terkait penanganan abrasi ini.

Kepala desa Bolangitang II, Desmon Pua mengatakan pihaknya telah mengusulkan ke Balai Wilayah Sungai (BWS) sudah tiga kali.

“Usulan proposal ini sejak tahun 2022, tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjut,”katanya.

Menurutnya, dusun III ini ada 86 Kepala Keluarga (KK) kalau tidak segera dibangun tanggul penahan abrasi bakal hilang rumah-rumah disini. Bisa-bisa satu dua tahun lagi.

“Bahkan sudah ada satu rumah yang telah dipindahkan karena ancaman abrasi,”ujarnya.

Abrasi semakin dekat ke rumah warga di Bolangitang II. (Foto Fandri Mamonto)

Sebelumnya Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Gusti Ayu Ketut Surtiari, menyampaikan perlu ada pengetahuan dan pemahaman yang tepat tentang dampak perubahan iklim yaitu adanya potensi risiko kenaikan muka air laut dan peningkatan arus gelombang laut.

“Dampak lainnya adalah terjadinya intrusi air laut. Akibatnya adalah akan meningkat terjadinya banjir rob yang semakin parah dan abrasi yang membahayakan penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir,”ujarnya.

Ayu Surtiari yang mendalami kajian terkait dengan adaptasi perubahan iklim, ketahanan masyarakat pesisir perkotaan dan juga ketahanan masyarakat pulau-pulau kecil menambahkan intrusi air laut juga dapat mempengaruhi tidak hanya kualitas air bersih untuk keperluan penduduk pesisir tetapi juga dapat mengancam petani tambak yang memanfaatkan air payau untuk tambak ikan.

“Pemahaman yang tepat akan mengantarkan pada strategi adaptasi yang lebih tepat,”katanya kepada media ini.

Tampak rumah yang bakal hilang akibat abrasi. Terlihat juga warga bahu membahu mencegah abrasi dari karung yang berisi Pasir. (Foto Fandri Mamonto)

Selain pengetahuan dan pemahaman yang tepat, pemerintah dan masyarakat juga harus belajar dari pengalaman (social learning).

Banjir yang terjadi bukan hal yang baru. Banjir sudah terjadi secara berulang namun menjadi lebih intens dan lebih sering dengan dampak yang lebih parah dalam beberapa tahun belakangan ini.

“Pembelajaran yang dimaksud adalah melakukan evaluasi atas strategi yang sudah dilakukan selama ini. Apakah upaya mitigasi sudah dilakukan dengan dampak jangka panjang atau masih bersifat reaktif jangka pendek,”jelasnya.

Jika jangka pendek, maka kejadian berulang di masa mendatang akan terjadi lagi karena potensi dampak perubahan iklim di masa mendatang akan terus meningkat.

Kelompok yang lemah memerlukan bantuan dan dukungan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Karena kelompok yang lemah adalah kelompok yang paling terpengaruh namun memiliki kapasitas yang paling terbatas.

Oleh karena itu, kata Ayu, ketika harus menanggung dampak perubahan iklim, mereka menjadi lebih kewalahan.

“Pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta untuk upaya pengurangan bencana banjir dan adaptasi, misalnya dapat menanam tanaman penahan air sesuai dengan kondisi tanah pesisir. Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, karena adaptasi perubahan iklim memerlukan kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta serta pihak lain,”ungkapnya.

Warga membuat tanggul darurat dari karung yang berisikan pasir. (Foto Fandri Mamonto)

Selain itu perlu kerjasama berbagai pihak termasuk swasta untuk membangun ketahanan pesisir yang terdiri dari pembangunan infrastruktur pelindung kawasan pesisir, regulasi untuk pemanfaatan kawasan pesisir.

“Mulai mempertimbangkan solusi berbasis alam seperti penanaman mangrove atau tanaman pelindung sesuai dengan karakteristik lokasi setempat,”jelasnya.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan