MANADO, SULAWESION.COM – Pekerja perikanan dan nelayan di Sulawesi Utara (Sulut) kerap menjadi objek eksploitasi dan diskriminasi tenaga kerja maupun upah yang tidak layak. Oleh karena itu, diperlukan regulasi pemerintah daerah agar mampu melindungi hak-hak mereka sebagai garda terdepan penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) industri perikanan di Bumi Nyiur Melambai.
Data Destructive Fishing Watch (DFW) melalui webinar Illegal Unreported, Unregulated Fishing (IUUF) Risk Index: Indonesia dalam Peta Perikanan Global menyebutkan, pada tahun 2022 industri perikanan di Sulut berkontribusi signifikan terhadap PDRB dengan nilai mencapai Rp12, 27 triliun atau sekitar 7,81 persen dari total PDRB Sulut.
Kontribusi ini menjadikan sektor perikanan sebagai pilar penting perekonomian regional, menciptakan lapangan kerja bagi ribuan nelayan, awak kapal perikanan, dan pekerja di unit pengelolaan ikan.
Di balik angka pertumbuhan ekonomi di atas, didapati fakta-fakta yang sangat mengerikan dan mendesak untuk segera diperbaiki. Dimana pekerja perikanan, baik nelayan skala kecil maupun awak kapal perikanan, terjebak pada kondisi kerja yang tidak aman, sekaligus rentan dieksploitasi. Misalnya ketidakpastian hak-hak ketenagakerjaan dan rendahnya jaminan sosial.
Melalui forum yang digagas DFW yang bekerja sama dengan Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu (SAKTI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, bertajuk “Dialog Laut: Memperkuat Perlindungan Pekerja Perikanan di Sulut yang diselenggarakan di The Tang Café and Resto Manado pada Senin (9/12/2024), semakin memantapkan tekad, sekaligus memahami tantangan dan peluang perlindungan pekerja perikanan, serta memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan untuk menghasilkan rekomendasi aksi.
Dialog tersebut menghadirkan empat narasumber diantaranya Pengawas Ketenagakerjaan Madya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulut Martinus S Rorong, DFW Indonesia Cindy Mudeng, Ketua SAKTI Sulut Arnon Hiborang, dan Ketua AJI Manado Fransiskus M Talokon. Serta diawali sambutan oleh Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Audi Dien.
Audi Dien menjelaskan, Sulut yang terdiri dari 15 kabupaten/kota, 13 diantaranya memiliki wilayah laut. Tidak hanya itu, sebagai negara maritim, Sulut mempunyai 57 pulau berpenghuni dan 256 pulau tidak berpenghuni. Kekayaan sumber daya alam yang begitu kompleks ternyata tidak menjamin kesejahteraan pekerja perikanan, khususnya anak buah kapal (ABK).
“Perlu adanya sinergitas antara stakeholder untuk memperhatikan ABK warga negara Indonesia berdasarkan undang undang yang berlaku,” jelasnya.
Arnon Hiborang, pria yang juga merupakan penyintas ganasnya kehidupan kerja awak kapal itu mengatakan, asuransi ketenagakerjaan merupakan bumerang.
Dia mempertanyakan terkait asuransi keselamatan awak kapal perikanan sebagian ditanggung perusahaan.
“seolah-olah membuat serikat dan pengusaha berselisih,” tegasnya.
Sebanyak 13 ribu pekerja perikanan di Kota Bitung membutuhkan sertifikasi keahlian. Arnon tidak menampik, jika data yang dia beberkan didominasi status pendidikan yang rendah.
Bagaimana mungkin untuk menunjang kesejahteraan para pekerja perikanan dan nelayan, jika untuk mendapatkan sertifikasi keterampilan masih sulit untuk diakses.
Dia membeberkan, sepanjang tahun 2019-2024 kasus yang dialami pekerja perikanan semakin tinggi. Misalnya gaji para pekerja yang tidak terbayarkan, tidak adanya transparansi soal asuransi dan jaminan sosial, penipuan perekrutan pekerja, penahanan dokumen pribadi (ijazah, kartu tanda pengenal, sertifikasi pelaut, dan lain-lain), hutang piutang, kekerasan, pemulangan jenasah yang berbelit-belit, PHK sepihak, dan kecelakaan kerja, sampai kematian yang disebabkan penyakit asam lambung.
“Meninggal karena asam lambung, makanan yang tidak sesuai,” bebernya.
Berdasarkan data SAKTI Sulut, jumlah korban pekerja perikanan dan nelayan dari tahun 2019-2024 adalah sebanyak 241 orang, terbagi atas 150 korban mengalami kasus di dalam negeri, 85 korban di luar negeri, dan 6 korban di lokasi pengolahan ikan. Dengan rentang usia yaitu 17-57 tahun.
Berdasarkan data DFW, pekerja perikanan adalah penyumbang terbesar nilai produksi di Sulut sepanjang tahun 2023-Juli 2024, yaitu mencapai Rp800 miliar, meningkat 21 persen dari tahun-tahun sebelumnya.
Korban pekerja perikanan di Sulut pada kanal status pengaduan National Fishers Center menyebutkan, sepanjang 1 Juli 2019-9 Desember 2024 terdapat 9 aduan yang melibatkan 31 korban. Mereka merupakan korban dari agen penyalur tenaga kerja.
Jenis kasus yang diadukan diantaranya gaji tidak dibayarkan/pemotongan upah, asuransi dan jaminan sosial, bantuan fasilitas, penipuan, dan dipulangkan sebelum kontrak selesai.
Cindy Mudeng mengatakan, Awak Kapal Perikanan (AKP) merupakan pihak terdepan menukarkan tenaganya untuk mengambil hasil laut untuk mendapatkan keuntungan.
Akan tetapi selama mereka melakukan penangkapan ikan, pekerja perikanan menghadapi berbagai macam bahaya seperti cuaca buruk, kondisi kapak yang tidak memadai, waktu kerja yang berlebih, upah yang dibayar tidak sesuai dengan tenaga yang didapatkan.
“Padahal tanpa AKP, maka tidak ada ikan yang dapat dijual,” katanya.
Selain itu, terdapat beberapa resiko kerja bagi AKP yang jarang diperhatikan pemerintah maupun pihak perusahaan yaitu kecelakaan akibat kegagalan peralatan/matinya sistem kapal (sistem dan navigasi mati, kebocoran kapal), terpapar cuaca ekstrem (gelombang tinggi, suhu udara panas, angin kencang, dan badai), terpapar bahaya kimia (menghirup freon bocor, terkena minyak panas, terpapar kimia pembersih), terjebak di dalam kapal (saat kebakaran di tengah laut, kapal tenggelam), kecelakaaan saat menggunakan alat tangkap (terkena alat potong, terlilit benang pancing), kematian dan cacat permanen (tenggelam, tangan putus, patah tulang, dan lain-lain), kerja paksa dan TPPO (gaji yang tidak dibayarkan, intimidasi).
Menurut Cindy, kecelakaan kerja ABK bukan semata-mata kesalahan mereka, melainkan menjadi tanggungjawab perusahaan dan pemerintah. Berikut poin-poin tanggung jawab perusahaan dan pemerintah:
Perusahaan
1) Mematuhi perjanjian kerja dengan AKP
2) Membayar premi asuransi
3) Mempekerjakaan dengan kondisi yang layak
4) Tidak memotong upah dan membayar upah tepat waktu
5) Menanggung biaya transport
6) Menanggung biaya perawatan
7) Menanggung biaya pemulangan dan pemakaman jenazah
8) Memberikan santunan
9) Memberikan kesempatan AKP untuk latihan dan kompetensi
Pemerintah
1) Memeriksa kelengkapan dokumen kapal
2) Memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut (PKL)
3) Mengeluarkan surat persetujuan berlayar
4) Memestikan kapal yang akan berangkat memenuhi standar layak operasi kapal perikanan
5) Melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan
6) Memeriksa teknis, nautis, alat penangkapan, dan alat bantu penangkapan.
Hak ABK
1) Mendapatkan upah, jaminan sosial, dan jaminan perlindungan hukum
2) Mendapatkan akomodasi, makanan, dan minuman serta perlengkapan kerja
3) Mendapatkan waktu istirahat yang cukup
4) Mendapatkan biaya keberangkatan
5) Mendapat perawatan dan pengobatan
6) Mendapatkan santunan
Tanggungjawab ABK
1) Mematuhi PKL
2) Melaksanakan tugas
3) Menaati peraturan kerja di atas kapal
4) Tidak memalsukan dokumen
5) Tidak menggunakan sertifikat AKP lain
6) Tidak terlibat dalam IUUF
Upaya untuk mendorong pembuatan peraturan gubernur (pergub) tentang perlindungan pekerja perikanan dan nelayan di Sulut telah menjadi wacana instansi terkait lima tahun silam.
Di tahun 2019, terbentuklah forum daerah (forda) untuk membahas persiapan pembuatan pergub tersebut. Hal ini adalah komitmen bersama dalam memperkuat Forum Perlindungan Pekerja Perikanan dan Nelayan (FP3N), serta upaya kolaborasi untuk mengurangi kesenjangan implementasi kebijakan.
Fransiskus M Talokon, menekankan pentingnya setiap jurnalis yang meliput di lapangan mengedepankan kode etik jurnalistik.
Jurnalis merupakan kontrol sosial maupun kekuasaan, akan tetapi verifikasi dan keberimbangan pemberitaan merupakan faktor penting agar independensi seorang wartawan tetap terjaga marwahnya.
“Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 adalah pagar api bagi jurnalis,” ujar Pemimpin Redaksi media kanalmetro.com ini.
Untuk AJI Manado sendiri, jelas Talokon, selalu mengarahkan anggotanya agar tetap kritis dan konsen terkait pemberitaan mengenai isu perlindungan pekerja perikanan.
“Ini adalah tanggungjawab kita bersama, bagaimana isu soal hak-hak para pekerja perikanan maupun nelayan tetap menjadi penting di kalangan jurnalis. Tidak tertutup dengan isu-isu yang tidak mempunyai bobot untuk dikonsumsi publik,” jelasnya.