BLORA, SULAWESION.COM — Dalam hening dan khidmat, lima perempuan muda dari Blora menyusuri jalan sunyi menuju Desa Temurejo, tempat seorang tokoh pejuang perempuan asal Aceh, Potjut Meurah Intan, bersemayam dalam damai.
Ziarah ini bukan sekadar ritual biasa. Ia adalah perjalanan spiritual dan intelektual untuk menyentuh kembali denyut sejarah perempuan dalam perjuangan bangsa.
“Ini bukan wisata sejarah. Ini bentuk penghormatan dan perenungan tentang bagaimana perempuan turut mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan,” ujar Maulida Thalita Syakih, salah satu peserta ziarah, yang memimpin doa dengan mata berkaca di pusara makam Potjut, Kamis (17/7/2025).
Bersama empat rekannya—Siti Hanifah Hidayah Mustafidah, Nayla Arianti, Citra Valentina, dan Anjani Fadillah—Maulida memaknai perjalanan ini sebagai wujud konkret dari keinginan generasi muda untuk tidak melupakan sejarah, terlebih sejarah yang jarang terangkat: sejarah perjuangan perempuan.
Kisah yang Terkubur Waktu, Dihidupkan Kembali
Potjut Meurah Intan adalah satu dari sedikit nama perempuan Aceh yang tercatat gigih melawan penjajahan Belanda sejak akhir abad ke-19. Berasal dari garis bangsawan Kesultanan Aceh, Potjut dikenal karena sikapnya yang paling keras menolak kehadiran Belanda. Dalam pertempuran sengit, ia akhirnya terkepung oleh pasukan elite Belanda dari Korps Marsose pada 11 November 1902.
Saat ditangkap, tubuhnya bersimbah luka—dua di kepala, dua di bahu, otot kening dan tumitnya nyaris putus. Namun, ia tetap menggenggam rencong, menolak menyerah. Kisah heroiknya begitu menggetarkan hingga pasukan Belanda menjulukinya Heldhafting, sang pemberani.
Namun alih-alih dihukum mati, Potjut Meurah Intan bersama putranya Tuanku Budiman dan kerabatnya Tuanku Ibrahim diasingkan ke Blora, Jawa Tengah, pada 6 Mei 1905. Ia hidup dalam keterasingan hingga akhirnya wafat pada 19 September 1937, dan dimakamkan di Desa Temurejo jauh dari tanah kelahirannya di Aceh.
Di makam itu, para perempuan muda Blora saling berbagi cerita, mengenang jejak perjuangan Potjut, dan memaknai ulang peran perempuan dalam sejarah bangsa. “Kita tumbuh dengan cerita-cerita besar tentang pahlawan pria. Padahal, perempuan pun punya kontribusi yang tak kalah penting,” ujar Siti Hanifah.
Bagi Nayla dan Citra, perjalanan ini menyadarkan mereka bahwa sejarah tidak hanya hidup di halaman buku, tetapi juga di tanah yang dipijak, di batu nisan yang diam, dan di jiwa yang mau mengingat.
“Ini pengalaman yang membekas. Kami bukan hanya melihat pusara pejuang, tapi ikut merasakan semangatnya,” ujar Nayla Arianti.
Mereka berharap kegiatan serupa bisa menginspirasi generasi muda lainnya untuk menjelajahi sejarah lokal dan memperkuat identitas kebangsaan lewat narasi-narasi yang lebih inklusif dan menyeluruh.
Menenun Masa Depan dari Jejak Perempuan Masa Lalu
Ziarah ke makam Potjut Meurah Intan bukan hanya soal mengenang masa lalu. Ini adalah upaya menenun masa depan, dengan benang-benang sejarah yang selama ini tercecer. Potjut bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi juga cermin dari daya tahan, keberanian, dan harga diri perempuan Nusantara.
Lewat langkah-langkah kecil di jalan sunyi Temurejo, sejarah kembali bernyawa. Dalam senyap doa dan jejak kaki generasi baru, perjuangan Potjut Meurah Intan seakan tak pernah benar-benar padam.







